Menu

gambar boleh diambil

Jumat, 27 Februari 2009

MACAM-MACAM TAUHID

Ada berapa macam tauhid itu, dan
bagaimana penjelasannya masingmasing?
Jawab:
Semoga Allah  menambah semangat
Anda untuk mencari kebaikan; dan
sungguh hal ini menunjukkan betapa
besar perhatian Anda terhadap masalah
aqidah. Memang wajib bagi setiap
muslim memperhatikan aqidahnya
karena aqidah merupakan asas
(fondasi) dari amal perbuatannya. Amal
perbuatan itu dikatakan benar dan akan
mendapatkan pahala hanya jika
memenuhi dua syarat berikut.
Pertama, Amal tersebut haruslah
dibangun di atas aqidah yang benar
(ikhlas). Kedua, Harus sesuai dengan
apa yang disyariatkan oleh Rasulullah 
(mutaba’ah).
fatwa para
ulama salaf lain yang tidak terangkum kedalam kitab Majmu Fatawa Lil Lajnah Da imah.
Perhatian Anda terhadap aqidah, yakni
yang berkaitan dengan pengetahuan
tentang macam-macam tauhid, menunjukkan
Anda bersemangat meraih
kebaikan-alhamdulillah,- menginginkan
kebenaran dan kelurusan aqidah yang
wajib bagi setiap muslim. Berkenaan
dengan macam-macam tauhid, maka saya
sampaikan bahwa tauhid ada tiga macam.

Pertama, Tauhid Rububiyah,
artinya mengesakan Allah  dalam hal
perbuatan-Nya. Seperti mencipta,
memberi rezeki, menghidupkan dan
mematikan, mendatangkan bahaya,
memberi manfaat, dan lain-lain yang
merupakan perbuatan-perbuatan
khusus Allah . Seorang muslim
haruslah meyakini bahwa Allah  tidak
memiliki sekutu dalam Rububiyah-Nya.

Kedua, Tauhid Uluhiyah,
artinya mengesakan Allah  dalam jenis-jenis
peribadatan yang telah disyari’atkan.
Seperti shalat, puasa, zakat, haji, doa,
nadzar, sembelihan, berharap, cemas,
takut, dan sebagainya yang tergolong
jenis ibadah. Mengesakan Allah 
dalam hal-hal tersebut dinamakan
Tauhid Uluhiyah; dan tauhid jenis inilah
yang dituntut oleh Allah  dari hamba-
 Macam-Macam Tauhid

pertama, yaitu Tauhid Rububiyah,
setiap orang (termasuk jin) mengakuinya,
sekalipun orang-orang musyrik
yang Allah  utus Rasulullah kepada
mereka. Mereka meyakini Tauhid
Rububiyah ini, sebagaimana tersebut
dalam firman Allah :
“Dan sungguh jika kamu bertanya
kepada mereka, ‘Siapakah yang
menciptakan mereka?’ niscaya mereka
menjawab, ‘Allah.’ Maka bagaimana
mereka dapat dipalingkan (dari
menyembah Allah).” (Q.S. Al-Zukhruf:87)
“Katakanlah, ‘Siapakah yang mempunyai
tujuh langit dan yang mempunyai ‘Arsy
yang besar?’ Mereka akan menjawab,
‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Mengapa
kamu tidak mau bertaqwa?’” (Q.S. Al-
Mu’minun:86-87)
Masih banyak ayat-ayat yang menunjukkan
bahwa orang-orang musyrik meyakini
Tauhid Rububiyah. Akan tetapi,
sebenarnya yang dituntut dari mereka
adalah mengesakan Allah dalam hal
ibadah. Jika mereka mengikrarkan
Tauhid Rububiyah, maka hendaknya
juga mengakui Tauhid Uluhiyah
(ibadah). Sungguh, Rasulullah (diutus
untuk) menyeru mereka agar meyakini
Tauhid Uluhiyah. Hal ini disebutkan
dalam firman-Nya :
“Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus rasul kepada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah
(saja), dan jauhilah Thagut, ’lalu di antara
umat-umat itu ada orang-orang yang
diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula
orang-orang yang telah dipastikan sesat.
Oleh karena itu, berjalanlah kamu di
muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan
(para rasul).” (Q.S. An-Nahl:36)
Setiap rasul menyeru manusia agar
meyakini Tauhid Uluhiyah. Adapun
Tauhid Rububiyah, karena merupakan
fitrah, maka belumlah cukup kalau
seseorang hanya meyakini tauhid ini saja.
Ketiga, Tauhid Asma was Sifat, yaitu
menetapkan nama-nama dan sifat-sifat
untuk Allah  sesuai dengan yang telah
ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya
maupun yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah  ; serta meniadakan
kekurangan-kekurangan dan aib-aib
yang ditiadakan oleh Allah terhadap diri-
Nya, dan apa yang ditiadakan oleh
Rasulullah 
Tiga jenis tauhid inilah yang wajib
diketahui oleh seorang muslim, lalu
secara sungguh-sungguh mengamalkannya.

JIKA PRIA HARUS JATUH CINTA

Jatuh cinta pada seorang wanita,
mungkin semua pria pernah
mengalaminya. Rasanya hampir
tak terkatakan. Ada kalanya
cinta itu membahagiakan, tapi
tak jarang juga menyakitkan. Imam
Ibnul Qayyim membagi cinta kepada
wanita ini dalam tiga bentuk.
1. Mencintai wanita dengan
maksud ketaatan dan taqarrub
kepada Allah. Ini merupakan cinta
kepada istri dan budak wanita yang
dimiliki. Merupakan cinta yang
bermanfaat dan dapat mengantarkan
kepada tujuan yang disyariatkan Allah
dan pernikahan, dapat menahan
pandangan mata dan hati untuk
melirik wanita selain istrinya. Orang
yang mencintai semacam ini dipuji di
sisi Allah dan di tengah manusia.
2. Cinta yang dibenci Allah
dan menjauhkan dari rahmat-Nya.
Cinta yang hanya memperturutkan
hawa nafsu. Demi cinta ini, seorang
hamba mau melanggar syariat Allah
. Cinta ini merupakan yang paling
berbahaya bagi hamba, yang dapat
mengancam agama dan dunianya.
Siapa yang memiliki cinta ini, dia
hina di hadapan Allah, dia orang yang
hatinya paling jauh dari Allah, dan
cinta ini merupakan tabir penghalang
antara dirinya dengan Allah. Untuk
mengobatinya adalah dengan
memohon per tolongan kepada
Allah yang membolak-balikkan hati,
bersungguh-sungguh untuk kembali
kepada-Nya. Sibuk mengingat-Nya,
menyibukkan
diri dan mengganti cinta
itu dengan cinta hanya pada-Nya.
Memikirkan derita dan sengsara
yang akan dialami lantaran cinta
itu, dan menggambarkan keindahan
sebenarnya dengan melupakan cinta
itu.
3. Cinta yang mubah. Cinta
yang tiba-tiba datang, seper ti
mencintai wanita cantik yang sifatnya
dikatakan kepadanya, atau dilihat
dengan tak sengaja, lalu hati pun
tertambat padanya. Tapi cinta ini
tak sampai menjerumuskan dirinya
hingga melakukan maksiat dan
kedurhakaan (seperti berhubungan
atau berpacaran dengan wanita itu).
Yang ini tak menimbulkan siksaan.
Yang paling bermanfaat adalah
membuang jauh-jauh cinta ini dan
menyibukkan diri dengan hal yang
lebih bermanfaat. Dan juga harus
menyembunyikan perasaannya,
menjaga kehormatan dirinya, dan
sabar dalam menghadapi ujian
cinta ini. Sehingga dengannya Allah
memberinya pahala. Yang mesti
dilakukan adalah mengganti cintanya
itu dengan kesabaran karena Allah,
tidak patuh pada bisikan nafsu dan
lebih mementingkan keridhaan Allah
dan apa yang ada di sisi-Nya.
Dari tiga bentuk cinta di atas,
dapat dipahami bahwa seandainya
bara cinta itu -yang lahir karena
keindahan wajah seorang wanitamampu
dipendam (bahkan diredam),
dan tidak melanjutkannya pada
tahapan yang melanggar syariat
(seperti pacaran), kemudian bersabar
dan memohon ketabahan kepada
Allah, dan lebih memilih keridhaan
Allah walau harus bertarung dengan
perasaan sendiri, maka ini yang
dibolehkan. Dan satu hal yang tak
boleh terlupakan bagi seorang muslim,
bahwa Allah tak mungkin menyianyiakan
hamba-Nya yang lebih
memilih cinta dan kasih sayang-Nya,
meski harus merelakan sang kekasih
menjadi milik orang lain. Mungkin
dengan ujian cinta dan sikap kita yang
seperti itu (lebih memilih keridhaan
Allah), Allah ingin kita menjadi hamba
pilihan yang kelak akan merasakan
indahnya bersanding dengan bidadari
nan menawan di jannah-Nya.
Andaikan memilih bentuk cinta
kedua, maka ini yang disebutkan
Imam Ibnul Qayy im, bahwa
permulaannya suatu yang ringan dan
manis. Pertengahannya kekhawatiran,
kesibukan hati dan siksaan. Dan
kesudahannya adalah kebinasaan
dan kematian.
Adapun bentuk cinta yang ketiga,
maka obatnya hanya dua. Pertama
berpuasa dan menyibukkan diri pada
hal yang mampu menjauhkan pikiran
ke arah "sana", dan jika puasa sudah
tak bisa untuk meredam gejolak cinta
itu, maka tak ada jalan lain lagi selain
menikah.
"Menikah dengan wanita yang
dicintai merupakan obat cinta yang
paling mujarab, yang dijadikan Allah
sebagai penawar yang sejalan dengan
ketetapan syariat," demikian Ibnul
Qayyim meyakinkan.
Cinta Tertinggi Hanya untuk
Allah dan Rasul-Nya
Rasulullah  bersabda, "Ada tiga
perkara apabila terdapat pada diri
seseorang, maka dia akan merasakan
manisnya iman. Ia menjadikan Allah
dan Rasul-Nya lebih dicintainya
daripada selain keduanya, ia mencintai
seseorang hanya karena Allah, ia
sangat benci kembali pada kekufuran
sebagaimana ia benci dicampakkan
ke dalam api." (Riwayat Al-Bukhari
dan Muslim)
Karena itu, jika kita mencintai
seseorang, usahakan jangan sampai
melebihi cinta kita pada Allah dan
Rasul-Nya, agar cinta kita tidak
menggelincirkan diri kita dalam

Selasa, 24 Februari 2009

WASPADALAH TERHADAP TIPUAN DUNIA

" السَلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهْ "

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى جَعَلَ لَنَا مِنْ دِيْنَنَا مَا فِيْهِ عِبِْرَةً لاُِولِي اْلاَلْبَابِ. اَشْهَدُ اَنْ لاَّ اِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمَلِكُ الْوَهَّابُ. وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلَهُ النَّاطِقُ بِالْحَقِّ وَفَضْلِ الْخِطَابِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ اْلأَخْيَارِ. صَلاَةً وَسَلاَمًا دَأئِمَيْنِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.
اَمَّا بَعْدُ. اُوْصِيْكُمْ وَاِيَّايَ بِتَقْوى اللَّهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى وَخَابَ مَنْ طَغَى.

Mengawali khotbah kali ini, marilah kita bersyukur kepada Allah SWT, dengan terus menerus meningkatkan Iman dan ketakwaan kepadaNya. Dan dalam menjalani kehidupan yang singkat ini, marilah kita selalu berusaha menjernihkan bathin, meningkatkan Tafakkur tentang tujuan hidup yang hakiki, yakni lebih meningkatkan ketakwaan dan pengabdian kepada Allah, baik dalam bentuk kesalehan ritual maupun sosial. Dengan cara inilah, manusia dapat mengisi kehidupan ini dengan nilai-nilai yang semestinya, serta mendapatkan arti hidup yang sesungguhnya, agar kita menjadi orang yang beruntung mendapatkan kebahagian hidup dunia dan akhirat.

Ma’asiral muslimin jama’ah Jumat rahimakumullah

Kehidupan dunia ini, bagaikan ladang dan tempat menanam, yang hasilnya pasti akan dipetik dan diberikan kepada penanamnya kelak di akhirat. Allah SWT, telah memberikan gambaran kepada kita mengenai hal itu, serta memberikan kesempatan untuk memilih, tentu dengan konsekwensi dan tanggung jawab

مَنْ كَانَ يُرٍيْدُ حَرْثَ اْلاَخِرِةِ نَزِدْ لَهُ فِى حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الّدُنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِى اْلاَخِرَةِ مِنْ نَصِيْبٍ
Artinya: “ Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat”.

Sebagai orang yang beriman kita harus mampu memposisikan diri secara benar dalam menghadapi kehidupan dan kenikmatan duniawi yang sangat menyilaukan dan berpotensi untuk menipu dan menyesatkan. Mungkin selama ini kita telah banyak tertipu dengan hanya menggunakan kesempatan hidup ini sebagai alat untuk mencapai kepuasan duniawi, baik dengan menumpukkan harta benda, mencari kedudukan, pangkat dan jabatan atau mengumbar nafsu syahwat. Betapa hina keberadaan kita sebagai ummat manusia tatkala jauh dari nilai-nilai pengabdian kepada Allah swt. Yang tidak mau memamfaatkan hidup di dunia ini untuk menanam kebaikan dan amal saleh.

Terhadap setiap sikap dan tindakan yang akan kita tempuh, hendaklah kita senantiasa merenung dan mempertimbangkan dengan baik dan matang. Jangan sampai terjebak ke dalam jaring prangkap nafsuh dan setan. Sebagaimana digambarkan didalam Al-qur’an, setan tidak pernah berhenti berusaha menjerumuskan manusia untuk dijadikannya sebagai teman di neraka kelak. Allah berfirman QS. Ibrahim : 22 yang artinya “ Dan berkatalah setan tatkala perkara ( Hisab) telah diselesaikan, sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan sekedar aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab janganlah kamu mencerca aku, akan tetepi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku dengan Allah sejak dahulu.’ Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu mendapat siksaan yang pedih”.
Ma’asiral muslimin jama’ah Jumat rahimakumullah

Pelajaran yang dapat kita ambil dari ayat tersebut adalah bahwa semakin kita terperangkap kedalam jerat nafsuh, maka kita akan semakin jauh dari jati diri sebagai manusia. Nilai-nilai kemanusia yang ada pada diri kita akan berubah menjadi nafsu hewan yang betindak tanpa ada pertimbangan baik dan buruk, tanpa idealisme sebagai manusia. Betapa hinanya bila hal itu terjadi pada manusia yang telah dikarunia akal sehat, yang mampu berpikir dan bisa memilah antara nilai-nilai kebaikan dan keburukan.
Ma’asiral muslimin jama’ah Jumat rahimakumullah

Oleh karena itu sebagai umat Islam marilah kita berusaha untuk menjaga jati diri sebagai manusia, dengan kembali kepada ajaran Allah yaitu mempertebal keimanan agar kita tidak terlena dan terpedaya oleh tipu daya kehidupan yang pana ini, menjadikan Al-qur’an sebagai pedoman bukan hanya sekedar hiasan rumah, memperkuat ukhuwah Islamiyah sebab semua titipan berupa harta benda , anak pangkat dan jabatan yang diberikan kepada kita selama didunia bukanlah menjadikan kita jauh kepada Allah akan tetapi semuanya tidak lain hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan modal yang harus kita bawa menuju kehidupan yang abadi. Maka waspadalah dengan kehidupan yang penuh pathamorgana ini.

Demikianlah, khotbah jumat yang saya sampaikan pada kesempatan ini, mudah-mudahan uraian khotbah yang singkat ini mampu membuka mata bathin kita, sehingga kita biasa menempatkan diri ke dalam kehidupan dunia ini pada tempat yang semestinya.

بَارَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِى الْقُرْاَنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِى وَاِيَّاكُمْ بِااْلاَيَاتِ والذِّكْرِالْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلْ مِنِّى وَمِنْكّمْ تَلاَوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

Khutba kedua
اَلْْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرْ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ بِهِ وَكَفَرْ. وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلاَئِقِ وَالْبَشَرْ. صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.

اًمَّا بَعْدُ, فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ وَافْعَلُوا الْخَيْرَاتِ واجْتَنِبُوْا عَنِ السَّيِّئَاتِ. اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِىّ يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا, فَاَجِيْبُوْا اللهَ عِبَادَ اللهِ اِلَي مَادَعَاكُمْ وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى مَنْ بِهِ اللهُ هَدَاكُمْ. اَللَّهُمِّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِِمِيْنَ .

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ, وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسلِمَاتِ, اَْلاَحَيَاءِ مِنْهُم وَاْلاَمْوَاتِ, اِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُالدَّعْوَاتِ. اَللّهُمَّ انْصُرْ اُمَّةَ سَيِّدِ نَا مُحَمَّد, اَللَّهُمَّ اصْلِحْ اُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحِمَّد, اَللَّهُمَّ ارْحَمْ اُمُّةَ سَيِّدِنَا مُحَمِّد. اَللَّهُمَّ انْصُرْمََنْ نَصَرَ الدِّيْنَ, وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ وَاجْعَلْ بَلْدَتَنَا اِنْدَونِسِيَا هَذِهِ بَلْدَةً طَيِّبَةً تَجْرِ فِيْهَا اَحْكَامُكَ وَسُنَّةُ رًسُوْلِكْ. اَللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلاَءَ وَالْبَلاَءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ وَالْمُخْتَلَفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّهْ, وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّه اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْر.

عِبَادَ اللهِ اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذَى الْقُرْبًى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِْ وَالْبَغِي يَعَظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكّرُوْنَ. اُذْكُرُو اللهَ الْعَظِيْم, يَذْكُركُمْ وَاسأَلُواهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَيَهْدِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَر.

TERAPI RASULULLAH DALAM PENYEMBUHAN PENYAKIT AL-ISYQ (CINTA)

Mukaddimah:
Virus hati yang bernama cinta ternyata telah banyak memakan korban. Mungkin anda pernah mendengar seorang remaja yang nekat bunuh diri disebabkan putus cinta, atau tertolak cintanya. Atau anda pernah mendengar kisah Qeis yang tergila-gila kepada Laila. Kisah cinta yang bermula sejak mereka bersama mengembala domba ketika kecil hingga dewasa. Akhirnya sungguh tragis, Qeis benar-benar menjadi gila ketika laila dipersunting oleh pria lain. Apakah anda pernah mengalami problema seperti ini atau sedang mengalaminya? mau tau terapinya? Mari sama-sama kita simak terapi mujarab yang disampaikan Ibnu Qoyyim dalam karya besarnya Zadul Ma'ad. Beliau berkata : Gejolak cinta adalah jenis penyakit hati yang memerlukan penanganan khusus disebabkan perbedaannya dengan jenis penyakit lain dari segi bentuk, sebab maupun terapinya. Jika telah menggerogoti kesucian hati manusia dan mengakar di dalam hati, sulit bagi para dokter mencarikan obat penawarnya dan penderitanya sulit disembuhkan. Allah mengkisahkan penyakit ini di dalam Al-Quran tentang dua tipe manusia, pertama wanita dan kedua kaum homoseks yang cinta kepada mardan (anak laki-laki yang rupawan). Allah mengkisahkan bagaimana penyakit ini telah menyerang istri Al-Aziz gubernur Mesir yang mencintai Nabi Yusuf, dan menimpa Kaum Luth. Allah mengkisahkan kedatangan para malaikat ke negeri Luth Dan datanglah penduduk kota itu (ke rumah Luth) dengan gembira (karena) kedatangan tamu-tamu itu. Luth berkata: "Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka janganlah kamu memberi malu (kepadaku), dan bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu membuat aku terhina ".Mereka berkata: "Dan bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia?" Luth berkata: "Inilah puteri-puteri (negeri) ku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)". (Allah berfirman): "Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)". [Al-Hijr: 68-72] KEBOHONGAN KISAH CINTA NABI DENGAN ZAINAB BINTI JAHSY Ada sekelompok orang yang tidak tahu menempatkan kedudukan Rasul sebagaimana layaknya, beranggapan bahwa Rasulullah tak luput dari penyakit ini sebabnya yaitu tatkala beliau melihat Zaenab binti Jahsy sambil berkata kagum: Maha Suci Rabb yang membolak-balik hati, sejak itu Zaenab mendapat tempat khusus di dalam hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh karena itu Beliau berkata kepada Zaid bin Haritsah: Tahanlah ia di sisimu hingga Allah menurunkan ayat: “Artinya : Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni`mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni`mat kepadanya : "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” [Al-Ahzab :37] [1] Sebagain orang beranggapan ayat ini turun berkenaan kisah kasmaran Nabi, bahkan sebagian penulis mengarang buku khusus mengenai kisah kasmaran para Nabi dan meyebutkan kisah Nabi ini di dalamnya. Hal ini terjadi akibat kejahilannya terhadap Al-Quran dan kedudukan para Rasul, hingga ia memaksakan kandungan ayat apa-apa yang tidak layak dikandungnya dan menisbatkan kepada Rasulullah suatu perbuatan yang Allah menjauhkannya dari diri Beliau . Kisah sebenarnya, bahwa Zainab binti Jahsy adalah istri Zaid ibn Harisah .--bekas budak Rasulullah-- yang diangkatnya sebagai anak dan dipanggil dengan Zaid ibn Muhammad. Zainab merasa lebih tinggi dibandingkan Zaid. Oleh Sebab itu Zaid ingin menceraikannya. Zaid datang menemui Rasulullah minta saran untuk menceraikannya, maka Rasulullah menasehatinya agar tetap memegang Zainab, sementara Beliau tahu bahwa Zainab akan dinikahinya jika dicerai Zaid. Beliau takut akan cemoohan orang jika mengawini wanita bekas istri anak angkatnya. Inilah yang disembunyikan Nabi dalam dirinya, dan rasa takut inilah yang tejadi dalam dirinya. Oleh karena itu di dalam ayat Allah menyebutkan karunia yang dilimpahkanNya kepada Beliau dan tidak mencelanya karena hal tersebut sambil menasehatinya agar tidak perlu takut kepada manusia dalam hal-hal yang memang Allah halalkan baginya sebab Allah-lah yang seharusnya ditakutinya. Jangan Sampai beliau takut berbuat sesuatu hal yang Allah halalkan karena takut gunjingan manusia, setelah itu Allah memberitahukannya bahwa Allah langsung yang akan menikahkannya setelah Zaid menceraikan istrinya agar Beliau menjadi contoh bagi umatnya mengenai kebolehan menikahi bekas istri anak angkat, adapun menikahi bekas istri anak kandung maka hal ini terlarang.sebagaimana firman Allah: "Artinya : Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu" [Al-Ahzab: 40] Allah berfirman di pangkal surat ini: "Artinya : Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja" [Al-Ahzab : 4] Perhatikanlah bagaiamana pembelaan terhadap Rasulullah ini, dan bantahan terhadap orang-orang yang mencelanya. Wabillahi at-Taufiq. Tidak dipungkiri bahwa Rasulullah sangat mencintai istri-istrinya. Aisyah adalah istri yang paling dicintainya, namun kecintaannya kepada Aisyah dan kepada lainnya tidak dapat menyamai cintanya tertinggi, yakni cinta kepada Rabbnya. Dalam hadis shahih: "Artinya : Andaikata aku dibolehkan mengambil seorang kekasih dari salah seorang penduduk bumi maka aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih"[2] KRITERIA MANUSIA YANG BERPOTENSI TERJANGKIT PENYAKIT AL-ISYQ Penyakit al-isyq akan menimpa orang-orang yang hatinya kosong dari rasa mahbbah (cinta) kepada Allah, selalu berpaling dariNya dan dipenuhi kecintaan kepada selainNya. Hati yang penuh cinta kepada Allah dan rindu bertemu dengaanNya pasti akan kebal terhadap serangan virus ini, sebagaimana yang terjadi dengan Yusuf alaihis salam: "Artinya ; Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih" [Yusuf : 24] Nyatalah bahwa Ikhlas merupakan immunisasi manjur yang dapat menolak virus ini dengan berbagai dampak negatifnya berupa perbuatan jelek dan keji.Artinya memalingkan seseorang dari kemaksiatan harus dengan menjauhkan berbagai sarana yang menjurus ke arah itu . Berkata ulama Salaf: penyakit cinta adalah getaran hati yang kosong dari segala sesuatu selain apa yang dicinta dan dipujanya. Allah berfirman mengenai Ibu Nabi Musa: "Artinya ; Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya" [Al-Qasas :11] Yakni kosong dari segala sesuatu kecuali Musa karena sangat cintanya kepada Musa dan bergantungnya hatinya kepada Musa. BAGAIMANA VIRUS INI BISA BERJANGKIT ? Penyakit al-isyq terjadi dengan dua sebab, Pertama : Karena mengganggap indah apa-apa yang dicintainya. Kedua: perasaan ingin memiliki apa yang dicintainya. Jika salah satu dari dua faktor ini tiada niscaya virus tidak akan berjangkit. Walaupun Penyakit kronis ini telah membingungkan banyak orang dan sebagian pakar berupaya memberikan terapinya, namun solusi yang diberikan belum mengena. MAKHLUK DICIPTAKAN SALING MENCARI YANG SESUAI DENGANNYA Berkata Ibn al-Qayyim: ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmahNya menciptakan makhlukNya dalam kondisi saling mencari yang sesuai dengannya, secara fitrrah saling tertarik dengan jenisnya, sebaliknya akan menjauh dari yang berbeda dengannya. Rahasia adanya percampuran dan kesesuaian di alam ruh akan mengakibatkan adanya keserasian serta kesamaan, sebagaimana adanya perbedaan di alam ruh akan berakibat tidak adanya keserasian dan kesesuaian. Dengan cara inilah tegaknya urusan manusia. Allah befirman: "Artinya : Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya” [Al-A'raf :189] Dalam ayat ini Allah menjadikan sebab perasaan tentram dan senang seorang lelaki terhadap pasangannya karena berasal dari jenis dan bentuknya. Jelaslah faktor pendorong cinta tidak bergantung dengan kecantikan rupa, dan tidak pula karena adanya kesamaan dalam tujuan dan keingginan, kesamaan bentuk dan dalam mendapat petunjuk, walaupun tidak dipungkiri bahwa hal-hal ini merupakan salah satu penyebab ketenangan dan timbulnya cinta. Nabi pernah mengatakan dalam sebuah hadisnya: "Artinya : Ruh-ruh itu ibarat tentara yang saling berpasangan, yang saling mengenal sebelumnya akan menyatu dan yang saling mengingkari akan berselisih "[3] Dalam Musnad Imam Ahmad diceritakan bahwa asbabul wurud hadis ini yaitu ketika seorang wanita penduduk Makkah yang selalu membuat orang tertawa hijrah ke Madinah ternyata dia tinggal dan bergaul dengan wanita yang sifatnya sama sepertinya yaitu senang membuat orang tertawa. Karena itulah nabi mengucapkan hadis ini. Karena itulah syariat Allah akan menghukumi sesuatu menurut jenisnya, mustahil syariat menghukumi dua hal yang sama dengan perlakuan perbeda atau mengumpulkan dua hal yang kontradiktif. Barang siapa yang berpendapat lain maka jelaslah karena minimnya ilmu pengetahuannya terhadap syariat ini atau kurang memahami kaedah persamaan dan sebaliknya. Penerapan kaedah ini tidak saja berlaku di dunia lebih dari itu akan diterapkan pula di akhirat, Allah berfirman: "Artinya : (kepada malaikat diperintahkan): Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah" [As-Shaffat : 23] Umar ibn Khtaab dan seteelahnya Imam Ahmad pernah berkata mengenai tafsiran wajahum yakni yang sesuai dan mirip dengannya .Allah juga berfirman "Artinya : Dan apabila jiwa dipertemukan" [At-Takwir : 7] Yakni setiap orang akan digiring dengan orang-orang yang sama prilakunya dengannya, Allah akan menggiring antara orang-orang yang saling mencintai kareNya di dalam surga dan akan menggiring orang orang yang saling bekasih-kasihan diatas jalan syetan di neraka Jahim, tiap oran akan digiring dengan siapa yang dicintainya mau tidak mau. Di dalam mustadrak Al-Hakim disebukan bahwa Nabi bersabda: "Artinya : Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum kecuali akan digiring bersama mereka kelak" [4] [Diterjemahkan oleh : Ustadz Ahmad Ridwan,Lc (Abu Fairuz Al-Medani), Dari kitab : Zadul Ma'ad Fi Hadyi Khairi Ibad, Juz 4, halaman 265-274, Penulis Ibnu Qayyim Al-Jauziah] _________ Foote Note [1]. Ini berita batil yang diriwayatkan oleh Ibn Sa'ad dalam at-Tabaqat/101-102, dan al-Hakim 3/23 dari jalan Muhammad ibn Umar al Waqidi seorang yang Matruk (ditinggalkan)-- dan sebagian menggapnya sebagai pemalsu hadis, dari Muhakmmad ibn Yahya ibn Hibban--seorang yang siqah –namun riwayat yang diriwayatkannya dari Nabi sekuruhnya mursal. Kebatilah riwayat ini telah diterangkan oleh para ulama almuhaqqiqin. Mereka berkata: Penukil riwayat ini dan yang menggunakan ayat ini sebagai dalil terhadap prasangka buruk mereka mengenai Rasulullah sebenranya tidak meletetakkan kedudukan kenabian Rasulullah sebagaimana layaknya, dan tidak mengerti makna kemaksuman Beliau. Sesungguhnya yang disembunayikan Nabi di dalam dirinya dan belakangan Allah nampakkan adalah berita yang Allah sampaikan padanya bahwa kelak Zaenab akan menjadi istrinya. Faktor yang membuat nabi menyembunyikan berita ini tidak lain disebabkan perasaan takut beliau terhadap perkataan orang bahwa Beliau tega menikahi istri anak angkatnya . Sebenarnya dengan kisah ini Allah ingin membatakan tadisi jahiliyyah ini dalam hal adopsi , yaitu dengan menikahkan Rasulullah dengan istri anak angkatnya. Peristiwa yang terjadi dengan Rasulullah ini sebagai pemimpin manusia akan lebih diterima dan mengena di hati mereka.. Lihat Ahkam Alquran 3/1530,1532 karya Ibn Arabi dan Fathul Bari 8/303, Ibn Kastir 3/492, dan Ruhul Ma'ani 22/24-25. [2]. Hadis diriwayatkan oleh Bukhari 7/15 dalam bab fadhail sahabat Nabi, dari jalan Abdullah ibn Abbas, dan diriwayatkan oleh Imam Muslim (2384) dalam Fadail Sahabat, bab keutamaan Abu Bakar, dari jalan Abdullah ibn Masud, dan keduanya sepakat meriwayatkan dari jalan Abu Sa'id al-khudri. [3]. Hadis Riwayt Bukhari 7/267dari hadis Aisyah secara muallaq, dan Muslim (2638) dari jalan Abu Hurairah secara mausul [4]. Diriwayatkan oleh Ahmad 6/145, 160, dan an-Nasai dari jalan Aisyah Bahwa Rasulullah Saw bersabda: Aku bersumpah terhadap tiga hal, Allah tidak akan menjadikan orang-orang yang memiliki saham dalam Islam sama dengan orang yang tidak memiliki saham, saham itu yakni: Sholat, puasa dan zakat. Tidak lah Allah mengangkat seseorang di dunia, kemudain ada selainNya yang dapat mengankat (derajatnya) di hari kiamat. Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum kecuali kelak Allah akan menggumpulkannya bersama (di akhirat). Kalau boleh aku bersumpat terhadap yang keempat dan kuharap aku tiodak berdosa dalam hal ini yaitu tidaklah seseorang memberi pakaian kepada orang lain (untuk menutupi auratnya) kecuali Allah akn memberikannya pakaian penutup di hari kiamat. Para perawi hadis ini stiqah kecuali Syaibahal-khudri (di dalam Musnad di tulis keliru dengan al-isyq-hadromi). Dia meriwayatkan dari Urwah, dan dia tidak di tsiqahkan kecuali oleh Ibn Hibban, namun ada syahidnya dari hadist Ibn Masud dari jalur Abu Yala, dan Thabrani dari jalur Abu Umamah, dengan kedua jalan ini hadis ini menjadi sahih.

SHOLAT DAN PENDIDIKAN

Hadirin yang di Rahmati Allah

Isra’ Mi’raj Mani Muhammad Saw adalah satu sejarah yang berisikan ketauladanan bagi setiap mukmin, hal ini dapat dikatahui dari kisah perjalanan Rasulullah dari Masjidil haram di Mekkah ke Masjidil Aqsah di Palestina selanjutnya naik ke langit untuk Munajat kepada Allah, lebih jelas dapat di lihat pada surat Bani Israil ayat 1 yang berbunyi:

..........................................................................................................................................................................

..........................................................................................................................................................................

Artinya : “ Maha Suci Allah yang telah Memperjalankan Hambanya dari Masjidl Haram (Mekkah) ke Masjidil Aqsho(Palestina) yang kami berkahi sekelilingnya agar kamitunjukkan sebagian-tanda-tanda kebesaran kami, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Hadirin yang di Rahmati Allah
Perjalanan Rasulullah pada saat Isra’ Mi’raj adlah perjalanan yang diberkahi dan justru itu perjalanan Rasulullah tersebut mengandung Hikma yang sangat banyak dan inti dari semua itu adalah Sholat. Sholat sebagai Hadiah (oleh-oleh) Rasul kepada ummatnya juga bukan sekedar ibadah, tetapi lebih dari itu sholat merupakan salah satu alat pendidikan bagi setiap manusia yang mengerjakannya. Unsur pendidikan yang dimaksud anatara lain:
Disiplin.
Artinya bahwa sebagaimana sholat harus dikerjakan tepat waktu, maka manusia hendaknya jangan pernah lalai dengan waktu dalam melakukan apapun. Dan intinya adalah setiap waktu dapat di gunakan untuk beribadah seiring dengan bekerja.
Kebersihan
Sholat tidk sah bila bila dikerjkan dalam keadaan kotor atau berhadas, maka manusia hendaknya harus selalu menjaga kebersihan, karena denagn bersih manusia akan sehat dan Allah tidak suka dengan orang-orang yang kotor
Aturan hidup
Sebagaimana shola harus dilakukan sesuai dengan rukun syariatnya, maka manusia hendaknya punya aturan dalam hidup tidak berbuat se-enaknya dewe atau semau gue, tanpa memikirkan orang lain.

Hadirin yang di Rahmati Allah
Demikianlah unsur-unsur pendidikan yang dapat kita temukan dalam Sholat, dan yang lebih penting bagi kita adalah jangan sampai Sholat terlalaikan karena itu adlah Tiang Agama kita, sesuai dengn sabda Rasulullah Saw.

..........................................................................................................................................................................

Artinya: “ Sholat itu Tiang Agama”
Sholat itu juga mrupakan pembeda antara orang Mukmin dan kafir, sebagaimana Rasulullah Saw

..........................................................................................................................................................................

Artinya: “ Tidak ada yang membedakan antara Muslim dan Kafir itu kecuali Sholat”

Hadirin yang di Rahmati Allah
Inilah inti dari Isra’ Mi’rajnya Rasulullah Saw yang harus kita jaga dan tetap harus dilaskanakan
Demikianlah yang dapat saya sampaikan kurang dan lebih saya mohon maaf. Akhirul kalam.

HIDUP YANG BAIK DISISI ALLAH

Setiap orang berusaha bagaimana menciptakan hidup yang baik selain sehat walafiat. Juga baik dalam perkataan, perbuatan dan tingkah laku sesama orang dalam pergaulannya. Ia tidak menyinggung dan menyakiti hati orang lain, malahan ia sebaliknya mempunyai budi pekerti yang mulia dan banyak memberikan kebaikan kepada orang. Sehingga siapapun disekitarnya sama sependapat menyatakan bahwa orang tersebut adalah baik. Pendeknya tidak ada yang kurang atau salah menurut orang disekitarnya. Orang yang baik ini bukanlah orang kaya saja, tetapi orang yang miskin.
Jadi sifat baik itu relative menetapkanya. Karena kebaikan itu adalah hak setiap milik setiap orang. Maka hidupnya yang demikian namun apakah tercipta cita- cita ini? Nyatanya dalam masyarakat sukar juga mencarinya apalagi akan memberikan penilaian nya. Penilaiannya adalah menurut ukuran masing – masing orang saja. Serupa dengan peribahasa, kepala sama bersambut akan tetapi pendapat berlain – lainan juga.
Perlu juga kita mengingatkan diri sendiri sebelum kita mengingatkan orang lain selaku manusia hamba Allah, orang yang beragama dalam dinul islam. Allah sudah memberikan ukuran dan nilaian apa dan bagaimana yang dikatakan hidup baik itu? Allah menyebutkan dengan “hayatan thayyibah” ( hidup yang baik ) firmannya menyatakan dalam al-quran surat An-nahl 98, artinya “ siapa saja yang beramal sholeh baik laki – laki sedangkn ia adalah orang yang beriman ( mukmin )maka sesungguhnya kami menghidupkan nya dalam keadaan “ hayyatun thoyyibah” hidup yang baik dan kami balas lagi di akhirat dengan imbalan yang lebih baik dari amalan –amalan yang mereka lakukan.
“ Hayyatun Thoyyibah” hidup yang baik diberikan Allah kepadanya didunia ini dan dibalas lagi dengan kehidupan yang lebih baik lagi di akhirt., adalah dengan memenuhi ketentuan – ketentuan diawal ayat tersebut yaitu melaksanakan amalan yang saleh.
Amalan yang baik itu tentu bukanlah sholat dan ibadah lainnya saja, malahan sangat luas pengertiannya. Amalan yang saleh ada yang dihadapkan kepada Allah dalam bentuk ibadah – ibadah dan taat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangnnya. Ada pula amalan yang saleh itu dihadapkn sesama manusia dan ummt Islam khususnya. Menurut aturan dan peraturan yang sudah cukup dalam Islam semua itu diamalkan dengan sebaik – baiknya sesuai aturan Islam.
Sedangkan dia sendiri adalah mukmin artinya semuanya itu didasarkan, didorong atau diniatkan karena Allah semata. Menjadikan diri mukmin yang ikhlas demikian sangat sukar dan berat, apalagi amal soleh yang bersangkutan dengan dan untuk kepentingan manusia ummat yang miskin harus kita Bantu dan anak – anak yatim piatu harus kita beri makan. Orang – orang terlantar harus kita tolong itu semua adalah amal shaleh. Yang dalam pelaksanaannya diniatkan karena Allah semata. Seperti di Indonesia semua ormas Islam dan partai Islam serta tokoh – tokoh pemimpin Islm beramal sholeh dalam bentuk perjuangan “Lii’laakalimatillahi hiyal ulya”. Untuk ketinggian kalimat Allah dibumi ini. Seperti di Indonesia ini tegak dan berlakunya syariat Islam. Apakah dalam hal ini semua pihak sepakat dan satu barisan perjuangan karena Allah?
Amal yang soleh itu sangat luas pengertiannya meliputi ibadah “muamalah”, masyarakat, ekonomi, pendidikan, akhlak, politik,kebudayaan dan keterampilan. Alias 10 bidang ajaran islam, ajaran islam yang khaffah. Masyarakat dan negarapun harus dibimbing dan diarahkan secra Islami. Janji Allah tidak akan dapat dirasakan.

FADILAH BULAN SYAWAL

" السَلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهْ "

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى جَعَلَ لَنَا مِنْ دِيْنَنَا مَا فِيْهِ عِبِْرَةً لاُِولِي اْلاَلْبَابِ. اَشْهَدُ اَنْ لاَّ اِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمَلِكُ الْوَهَّابُ. وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلَهُ النَّاطِقُ بِالْحَقِّ وَفَضْلِ الْخِطَابِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ اْلأَخْيَارِ. صَلاَةً وَسَلاَمًا دَأئِمَيْنِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.
اَمَّا بَعْدُ. اُوْصِيْكُمْ وَاِيَّايَ بِتَقْوى اللَّهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى وَخَابَ مَنْ طَغَى.

Sudah 7 hari kita lalui suasana lebaran (aidil fitri ) setelah kita telah menyelesaikan Ibadah shaum selama satu bulan penuh. Idul Fitri adalah hari kemenangan ditandai dengan kumandang takbir, tahmid dan tahlil sebagai rasa syukur kepada Allah SWT artinya dengan kemenangan itu kita diberi pahala seperti anak yang baru lahir tidak memiliki dosa dan noda yaitu suci lahir dan bathin. Itulah cita-cita yang kita idam-idamkan. Menjadi pribadi bertakwa adalah tujuan akhir yang ingin di capai melalui ibadah shaum. Sesuai dengan subuah hadis shahih riwayat Iman Muslim dan Abu Hurairah Rasulullah bersabda” setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah/suci, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.

Namun demikian , kesucian tersebut telah terkooptasi oleh berbagai cobaan dan ujian yang diberikan Allah SWT dalam kehidupan ini. Akibat pergaulan yang salah dan menyesatkan, manusia terjerumus pada prilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran. Manusia pun merasa sombong dengan ilmu yang dimilikinya, sehingga ilmunya menjadi ilmu yang tidak berkah dan menjadi malapetaka .
Manusia pun terkadang tertipu dengan pangkat dan jabatan yang diembannya. Seolah jabatan itu sesuatu yang harus dijadikan peluang untuk memperkaya diri dan keluarganya. Manusia pun terkadang tidak sadar dengan harta bendanya. Ia mengira, hartnya akan mengekalkannya. Halal dan haram tidak lagi menjadi batasan yang harus dipatuhi. Yang ada adalah pemenuhan kebutuhan hidup tanpa kendali, dimana orientasi adalah memuaskan ambisi dan hawa nafsu syahwatnya.

Hari ini masih di dalam bulan syawal adalah yang merupakan rangkaian dan berkaitan dengan bulan Ramadhan tentuknya bulan syawal ini emiliki fadilah yang sangat baik bagi kita dianataranya :
1. Puasa 6 hari berturut-turut ( yaitu puasa syawal ) dan hukumnya sunat

……………………………………………………………………………………………………
Artinya: “ Barang siapa yang berpuasa di Bulan Ramadhan kemudian menyertakan bulan ramadhan itu dengan puasa enam hari dari bulan syawal maka di aseperti berpuasa satu tahun penuh”

Ulama Muhaqqin berkata bahwa pelaksanaan puasa syawal lebih baik dilaksanakan enam hari dilaksanakan berturut-turut, karena berturut-turut itu lebih mendekatkan terangnya hati.
2. Allah menciptkan tujuh lapis langit dan bumi selama enam hari pada waktu bulan syawal
Sebagaimana hadis Rasulullah yang berbunyi:

……………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………
Artinya: “ Sesungguhnya Allah telah menciptakan tujuh langit dan bumi ini selama enam hari di bulan syawal. Barang siapa berpuasa dienam hari itu, maka Allah mencatat baginya kebaikan sebanyak bilangan makhluk yang telah dicptakan dan menghapuskan semua kejahatannya serta mengangkat derajat pula akan derajatnya”.

Oleh karena itu menurut para ulama bahwa mamfaat puasa 6 hari berturut-turut lamanya di dalam bulan syawal:

Meringankan ketika di dalam sakratul maut seperti yang diterangkan di dalam buku Duratunnasihin bahwa “ Sesungguhnya mayat itu mempunyai enam ratus anggouta badan dan pada tiap-tiap anggouta badannya itu terdapat seribu mulut kecuali hati, sebab hati itu tempat ma’rifat. Barang siapa berpuasa pada yang enam ini maka Allah meringankan dia dalam “ Sakratul maut” seperti mudahnya meminum air sejuk bagi orang yang dahaga”.

Pada suatu hikayat ada seorang laki-laki selalu dating ke Baitul haram untuk melakukan sholat dan tawaf di ka’bah. Suatu ketika laki-laki tersebut menderita sakit dan berpesan kepada Sufyan Ats Tsaury Ra. Kalaulah saya meninggal dunia, mandikanlah dengan sendirimu, sholatilah dan kebumikannlah serta jangan jangan engkau tinggalkan saya sendirian di dalam kubur pada waktu malam bahkan bermalamlah engkau dekat kuburku serta ajarlah saya kalimat tauhid, ketika mulai ada pertanyaan mungkar dan nakir. Bermimpilah Sufyan Ats Tsaury Ra terdengarlah suara “ Hai Sufyan Ats Tsaury tidak ada perlunya bagi mayat ini engkau jaga dan engkau ajar tauhid, maka Sufyan Ats Tsaury menjawab mengapa demikian, Suara itu menjawab: “ sebab dia telah berpuasa bulan ramadhan dan kemudian berpuasa pula enam hari di bulan syawal sesudah Ramadhan, Sufyan Ats Tsaury bangun lalu mengambil wudhu’ dan tidur kembali dan begitulah berulang 3x, maka dia tahu bahwa itu dating adri Allah SWT, lantas diapun pulang dan berdoa

……………………………………………………………………………………………………
Artinya: “ Yaa Allah berilah saya pertolongan untuk mengerjakan puasa bulan Ramadhan dan mengikut dengan enam hari pada bulan syawal”
Sebagai penghapus atau membersihkan bagi nafsuh syahwat akibat kelengahan ketika pada pelaksanaan hari raya dan tertutuplah hati ungkapan Abdul Wahab di dalam kitab Duratunnasihin

Sidang jum’at yang di rahmati Allah

Tentunya yang tidak kala penting bahwa Apabila hal tersebut sudah kita laksanakan, maka tugas kita pasca Ramadhan dan bulan syawal adalah menjaga Ruh Bulan Ramadhan dan Ruh Bulan syawal dalam kehidupan sehari-hari di luar Ramadhan. Jangan sampai terjadi begitu keluar kita berteriak “ Merdeka “ seolah-olah bulan tersebut merupakan bulan penyiksaan bagi kita.
Oleh karena itu setidaknya pasca Ramadhan dan syawal ini tertanam di dalam jiwa kita :
Dapat membentuk jiwa kita agar lebih peka terhadap diri kita dari mana, sedang dimana dan mau kemana tentunya sebagai pedoman yaitu tuntunan Ajaran Islam dalam rangka meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Dapat membentuk jiwa kita agar lebih peka terhadap lingkungan rumah tangga, jiran bertetangga dan masyarakat sosial untuk mencapai kemaslahatan ummat.
Demikianlah khutbah singkat ini yang dapat khatib sampaikan mudah-mudahan ada mamfaatnya bagi khatib sendiri dan kepada kita semua. Amin ya Rabbal Alamin.

جَعَلَنَا اللَّهُ وَاِيَّاكُمْ مِن اْلفاَئِزِيْنَ اْلاَمِنِيْنَ. وَاَدْخَلَنَا وَاِيَّاكُمْ فِى عِبَادِهشالصًالِحِيْنَ. وَقُلْ رَّبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّحِمِيْنَ.

Khutbah Kedua
اَلْْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرْ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ بِهِ وَكَفَرْ. وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلاَئِقِ وَالْبَشَرْ. صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.

اًمَّا بَعْدُ, فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ وَافْعَلُوا الْخَيْرَاتِ واجْتَنِبُوْا عَنِ السَّيِّئَاتِ. اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِىّ يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا, فَاَجِيْبُوْا اللهَ عِبَادَ اللهِ اِلَي مَادَعَاكُمْ وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى مَنْ بِهِ اللهُ هَدَاكُمْ. اَللَّهُمِّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِِمِيْنَ .

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ, وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسلِمَاتِ, اَْلاَحَيَاءِ مِنْهُم وَاْلاَمْوَاتِ, اِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُالدَّعْوَاتِ

RABBANA ATINA FIDDUNYAA HASANAH WAFIL AKHIRATI HASANAH WAQINA AZABANNAR

عِبَادَ اللهِ : اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذَى الْقُرْبًى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِْ وَالْبَغِي يَعَظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكّرُوْنَ. اُذْكُرُو اللهَ الْعَظِيْم, يَذْكُركُمْ وَاسأَلُواهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَيَهْدِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَر.

Jumat, 20 Februari 2009

Zikir Asmaul Husna&Meditasi Spiritual Tapak Sunan Cirebon

A. PENDAHULUAN

Setiap manusia memiliki dua dimensi yang sangat berharga: dimensi jasmani dan rohani. Dengan dua sayap dimensi tersebut manusia dapat meninggikan dan melejitkan citra dirinya ke suatu maqam spiritual yang tak terbatas dimana manusia sampai pada maqam yang paling dekat dengan Alah Azza wa Jalla, yaitu maqam yang meminjam istilah al Qur’an Qaba Qaisan au Adna (sedekat dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi). Bahkan malaikat semulia Jibril andaikan memaksa untuk melewati maqam tersebut niscaya ia akan “terbakar”. Namun sebaliknya, ketika manusia hanya memuaskan dimensi jasmaninya dimana hidupnya hanya larut dalam makan-minum, tidur-istirahat dan mengumbar hawa nafsu maka—menurut Al Qur’an—derajatnya lebih hina daripada binatang, dan semakin jauh lagi lebih tak berharga daripada benda mati seperti batu. Islam merupakan ajaran yang sempurna. Ia tidak hanya memperhatikan aspek spiritual saja dan mengabaikan tuntunan jasmani. Islam ingin mencetak manusia yang sempurna melalui pembangunan jiwa yang bertitik tolak dari keseimbangan aspek jasmani dan rohani, aspek lahiriah dan batiniah, aspek duniawi dan ukhrawi.

Berangkat dari dasar pemikiran di atas dan setelah melalui diskusi maraton dengan teman-teman, para aktivis dan tokoh-tokoh Islam serta melihat fenoma kemiskinan spiritual yang dirasakan oleh banyak lapisan masyarakat Islam, kami akhirnya membentuk Majelis Zikir Asmaul Husna dan Meditasi Spiritual Tapak Sunan yang berpusat di Kota Wali Cirebon, Jabar. Majelis Zikir Asmaul Husna (MZAH) dan Meditasi Spiritual Tapak Sunan (MSTS) tidak berpikir untuk mengorbitkan “manusia malaikat” yang selalu merasa ada di langit dan lupa turun ke bumi. Atau manusia yang setelah melalui tahap-tahap spiritual, menganggap dirinya suci dan sok suci lalu melihat orang lain hina bak binatang yang tak perlu digubris dan mendapatkan kasih sayang serta penghormatan. Atau manusia yang hanya sibuk berzikir dan tidak memiliki kepekaan sosial, misalnya hanya duduk bersila di masjid/musola sambil terus berzikir dan melupakan tanggung jawabnya sebagai suami/ayah yang harus menafkahi keluarga. Atau manusia yang tergila-gila mempraktekkan wirid namun tidak pernah memahami falsafah dan rasionalitas zikir, bahkan ia menganggap tafakur dan zikir itu tidak pernah bertemu. Tidak demikian tujuan kami. Tidak demikian gerakan spiritual kami Namun MZAH&MSTS dalam perjalanannya berusaha dan bertujuan membumikan insan kamil (manusia sempurna). Insan kamil adalah manusia ideal yang berhasil menyeimbangkan secara elegan dan sempurna aspek Ilahi dan hayawani yang ada dalam dirinya. Contoh kongkrit insan kamil yang akan selalu menjadi rujukan MZAH&MSTS adalah manifestasi sempurna dari cahaya Allah di muka bumi, yaitu Nur Muhammad saw. Pendekatan yang dilakukan oleh MZAH&MSTS terbilang spektakular, universal, rasional dan mungkin bagi banyak kalangan dianggap unik. Spektakuler karena dalam prakteknya kami akan mengusung harmonisasi aspek spiritual dan intelektual atau aspek zikir dan fikir (tafakur). Gerakan spiritual kami berangkat dari keyakinan bahwa Al Qur’an, Burhan (argumentasi/aspek penalaran) dan `Irfan (aspek mistik/makrifatullah) satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Kami akan mencoba membuktikan bahwa aspek `Irfan yang benar atau dalam istilah banyak kalangan disebut tasawuf tidak pernah mengebiri akal, apalagi menganggap akal sebagai musuh abadi `irfan atau tasawuf. Sebagaimana kami meyakini bahwa maqam spiritual yang telah dicapai oleh Nabi Besar Muhammad saw bukanlah monopoli yang dipaksakan oleh tangan besi Tuhan.

B. PERMASALAHAN

Pendekatan dakwah dengan menggunakan metode zikir dan tarekat sudah ada dimana-mana dengan pelbagai bentuknya. Namun permasalahannya adalah bahwa banyak kalangan menilai bahwa metode zikir atau tarekat hanya cocok untuk kalangan tertentu dan tidak untuk semua orang. Sehingga kemudian gerakan zikir dan tarekat terkesan eksklusif bagi lapisan masyarakat tertentu saja. Misalnya, bila dilihat dari usia peserta zikir atau tarekat maka kebanyakan mereka yang ikut berusia lanjut. Jarang sekali kita menyaksikan gerakan zikir yang justru dimotori oleh anak-anak muda. Padahal kebutuhan akan zikir adalah kebutuhan bersama manusia, baik tua maupun muda. Bahkan sejatinya, penanaman nilai-nilai zikir terhadap anak muda jauh lebih efektif ketimbang mereka yang berusia senja. Permasalahan fundamental lainnya adalah banyak anggapan/persepsi yang keliru tentang kriteria seorang mursyid (guru spiritual), zikir dan tarekat/tasawuf itu sendiri. Misalnya, sebagian menilai bahwa pendalaman tarekat identik dengan meninggalkan kenikmatan materi (dunia). Sebagian lagi menganggap bahwa zikir dan terjun ke tasawuf sama dengan pelarian (tobat) dari masa lalu yang gelap-gulita. Sebagian orang memahami bahwa Islam itu suatu jalan dan tarekat/tasawuf adalah jalan yang lain dsb.

C. VISI, MISI, DAN TUJUAN

1. Visi Seluruh anggota MZAH di Cirebon dan pelbagai kawasan di Indonesia dididik dan dibina menjadi tunas-tunas bangsa Indonesia yang:

  1. Sehat dan kuat jasmani dan rohani, cerdas secara spiritual dan intelektual dan kreatif.
  2. Berkepribadian Nasional dan Universal
  3. Berjiwa besar (bijak), mandiri, dan berpikiran luas.

4. Menjadi rahmat bagi seluruh makhluk di dunia (bersikap toleran dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta membela mereka yang tertindas).2. Misi Melahirkan insan Indonesia yang seutuhnya dilihat dari sudut pandang:1. Intellectual Intelligence = Kecerdasan Intelektual2. Emotional Intelligence = Kecerdasan Emosional3. Adversity Intelligence = Kecerdasan Daya Juang/Kemandirian4. Kinesthetic Intelligence = Kecerdasan gerak Fisik/Sehat fisik5. Inter-personal Intelligence = Kecerdasan dalam Pergaulan6. Spiritual Intelligence = Kecerdasan Spiritual Di samping itu, kami menyiapkan dan melatih kader-kader yang tercerahkan spiritualnya sehingga menjadi guru-guru spiritual di daerahnya masing-masing. Dan kami juga siap mentraining dan membekali lembaga-lembaga swasta dan negeri serta manajer-manajer perusahaan dan anak buahnya dengan Manajemen Qalbu Eksklusif yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pemahaman mereka. 3. Tujuan

  1. Membantu masyarakat muslim Indonesia untuk memberikan layanan pendidikan spiritual yang sesuai dengan bimbingan Islam, sehingga mampu menghindari dampak negatif pengaruh globalisasi.
  2. Membantu pemerintah Indonesia untuk memberikan kontribusi positif, produktif dan konstruktif dalam bidang pencerahan spiritual khususnya dan bidang kehidupan lain pada umumnya.
  3. Mengurangi tingkat kekerasan di pelbagai aspek kehidupan pada dataran individu, rumah tangga, masyarakat, dan bangsa.
  4. Menunjukkan potensi besar manusia dan cara memanfaatkan potensi tersebut demi kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat.
  5. Mengedepankan nilai-nilai kebersamaan (universlitas) dan kesatuan dalam kemajemukan.
  6. Meningkatkan ikatan ukhuwah islamiyah dan mempererat tali silatu rahmi antar pelbagai kelompok Islam.
  7. Menghidupkan dan memakmurkan masjid dan menjalin kerja sama dengan pelbagai DKM.
  8. Membantu menyelesaikan pelbagai problema hidup masyarakat (problema pekerjaan, pelbagai penyakit, gangguan sihir dll) melalui meditasi spiritual yang berpijak pada kedahsyatan 1000 asma Allah (Jausyan Kabir).

D. LANDASAN PEMILIHAN ZIKIR

Al Qur’an surah al Ahzab ayat 41: “Wahai orang-orang yang beriman berzikir-lah kepada Allah dengan zikir yang banyak.”Hadis riwayat Sayidina Ali bin Abi Thalib bahwa: “Jibril turun menemui Nabi saw pada suatu peperangan. Ketika itu beliau menggunakan baju besi yang penuh dengan goresan pukulan (senjata) musuh. Jibril berkata, ‘Ya Muhammad, Tuhanmu mengucapkan salam atasmu dan berfirman kepadamu, ‘Tanggalkan baju besi itu dan bacalah doa ini (Doa Jausyan Kabir). Sesungguhnya ia pengaman untukmu dan umatmu.’”

E. KEUTAMAAN ZIKIR JAUSYAN KABIR

  • Barangsiapa membacanya sebelum keluar rumah atau membawanya, Allah akan menjaganya, mewajibkannya masuk surga, dan membimbingnya kepada pekerjaan yang lebih baik.
  • Barangsiapa membacanya dengan niat yang tulus pada awal bulan Ramadhan, Allah akan menganugerahkannya Lailatul Qadar.
  • Barangsiapa membaca doa ini tiga kali pada bulan Ramadhan, Allah akan menjauhkannya dari api neraka, dan ia akan dimasukkan ke surga, serta Allah memerintahkan dua malaikat untuk selalu menjaganya dari maksiat, dan selalu dalam perlindungan Allah sepanjang hidupnya.
  • Barangsiapa menuliskan dan meletakkan doa ini di rumahnya, niscaya rumahnya itu akan aman dari pencurian dan kebakaran.

F. STRUKTUR KEPENGURUSAN

Pembina: Habib Muhammad AlcaffKetua Umum: Habib Saleh Syu`aibKoordinator Wilayah Kota Cirebon: Ust. Santoso (Syeikh Tarekat)Koordinator Wilayah Graksaan: Ust. Ahmad Hijazi (Syeikh Tarekat)Koordinator Wilayah Terminal dan Kali Jaga: Habib Muhammad al Habsyi (Syeikh Tarekat)Koordinator Wilayah Indramayu dan sekitarnya: Kyai Amirudin ((Syeikh Tarekat)Koordinator Wilayah Kuningan dan sekitarnya

Sejarah Singkat Wali Songo

MENITI PENINGGALAN KANJENG SUNAN GIRI DI GRESIK


lakaran wajah para wali 9
Kemasyhuran Kanjeng Sunan Giri sebagai mubaligh di dalam menyiarkan agama Islam terkenal mulai dari rakyat biasa sampai menelusup ke pintu-pintu istana kerajaan Majapahit. Keberhasilan beliau di dalam mendirikan pesantren atau perguruan di Giri Gresik, sampai berdatanglah para murid dari Sulawesi, Kalimantan, Madura, Kangean, Nusa Tenggara, Halmahera, Nusa Tenggara dan pulan-pulau yang lain. Kalangan orang-orang atasan, sampai-sampai beliau mendapat tuduhan sebagai seorang feodal dan berkompromi dengan para petinggi kerajaan Majapahit, adalah karena usaha beliau untuk mendekati pihak kerajaan Majapahit agar strategi untuk mengembangkan agama Islam di Jawa berhasil. Kewibawaan beliau sangat dihormati di kalangan para wali, karena ilmu dan kepribadian yang beliau miliki. Keputusan musyawarah para wali beliau diangkat sebagai MUFTI, dan Pemimpin Agama Islam seluruh Jawa, maka pengaruh beliau sangat besar terhadap jalannya Da’wah saat itu.
Gresik yang pada jaman dahulu dinamakan KOTA TANDES oleh masyarakat setempat, hal ini bisa dibaca pada ukiran sebuah batu berbentuk lingga yang terletak di depan Makam Tumenggung Poesponegoro adalah Bupati Gresik yang pertama kali. Gresik adalah bumi Allah yang diwangsitkan dari hamba Allah yaitu Syeikh Maulana Ishak kepada putranya yakni Joko Samodra hasil perkawinan dengan Dewi Sekardadu putri Prabu Menak Sembuyu adalah penguasa negeri Blambangan pada waktu itu.
Bayi kecil yang konon menurut cerita akan dibunuh oleh sang nenek yang dan lantas urung niatnya akhirnya sang nenek menitahkan agar anak laki-laki (Joko) Dewi Sekardadu itu dimasukkan ke dalam peti dan kemudian dilarungkan ke laut lepas (Samudra). Alangkah sedihnya hati serta lemah lunglilah segala sendi tulang Ibunda Dewi Sekardadu dan suatu malan di Selat Bali perahu dagang dari Gresik oleng, berputar-putar terus di tengah laut, tidak mau maju maupun mundur kejadian ini tampaknya oleh awak perahu sadar tidak sadar di sekitar perahu terlihat sebuah peti terapung-apung, diambilah peti itu dan dibuka mereka terperanjat karena di dalamnya terbaring seorang bayi laki-laki sedang menangis. Awak perahu urung melanjutkan perjalanannya dan kembali ke kota Gresik dan bayi yang ditemukan diserahkan ke juragannya yaitu Nyai Gede Pinatih dan si-jabang bayi diberi nama JOKO SAMUDRA oleh ibu angkatnya.
Dalam perjalanan hidup remaja Joko Samudra belajar mengaji atau belajar agama Islam ke Ampel, Surabaya. Pesantren Ampel di bawah asuhan Sunan Ampel atau Raden Rakhmat yakni saudara sepupu ayahnya sendiri. Setiap hari Joko Samudra pulang balik dari Gresik ke Ampel Surabaya pergi mengaji sampai memahami betul pelajaran agama Islam seperti ilmu Fiqih, ilmu Tauhid, Alqur’an dan sebagainya. Atas pesan dari ayah Joko Samudra Sunan Ampel memberi nama RADEN PAKU.
Dalam usia dewasa Raden Paku bersama sahabatnya yaitu putra dari Sunan Ampel yang bernama Raden Maulana Makhdum Ibrahim yang kemudian termasyhur dengan sebutan SUNAN BONANG bertemu Syeikh Maulana Ishak yakni ayah kandung dari Raden Paku sendiri. Selama tiga tahun pertemuan dengan orang tua Raden Paku banyak mendapatkan pembelajaran berbagai ilmu agama Islam baik dari Syeikh Maulana Ishak atau guru-guru lainnya di Pasai, terutama Ilmu Tauhid dan Tashawwuf, Raden Paku sangat mendalaminya. Atas semua yang dimiliki Raden Paku yakni baik ilmu agama atau kepribadian yang bersinar, oleh salah seorang gurunya memberikan nama “MAULANA ‘AINUL YAQIN”.
Joko Samudra atau Raden Paku atau Maulana Ainul Yaqin dalam proses pendirian pesantren sebelumnya menerima wangsit dari ayahnya sewaktu ia masih belajar di Pasai dahulu setelah diberi bekal segumpal tanah. Segumpal tanah itu adalah sebagai alat untuk mendari tempat bila Raden Paku akan mendirikan pesantren. Maka Raden Paku pergi mengembara mencari daerah atau tempat yang sesuai untuk mendirikan pesantren. Melalui desa yang bernama Margonoto, termasuk daerah Gresik, sampailah Raden Paku ke tempat yang agak tinggi atau sebuah bukit. Di situ Raden Paku merasa sejuk dan damai hatinya. Kemudian ia mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah di tempat tersebut, ternyata sesuai benar dengan segenggam tanah yang diberikan oleh ayahnya dahulu. Desa itu namanya SIDOMUKTI dan di situlah kemudian Raden Paku mendirikan pesantrennya. Karena tempat itu merupakan tanah yang tinggi atau gunung, maka tempat itu dinamakan GIRI dalam bahasa Sansekerta mempunyai arti Gunung. Di Giri inilah Raden Paku mendirikan pesantren dengan kemasyhurannya beliau terkenal dengan sebutan SUNAN GIRI. Kemudian tempat itu menjadi sebuah keraton atau kerajaan yang dikenal dengan nama GIRI KEDATON. Dahulunya tempat ini jarang ditempati manusia kemudian menjadi sangat ramai sekali, menjadi subur, dan makmur, sehingga Giri menjadi tempat yang disenangi banyak orang.
Peninggalan Kanjeng Sunan Giri diantaranya; menurut keterangan Juru Kunci Mbah H. Abdul Jalil 73 tahun, yang sejak 1961 mulai bertugas menjaga dan melestarikan peninggalan hasil dari peradaban dan kebudayaan manusia jaman dahulu yang sangat tingi nilainya yakni:

* Masjid Jami’ Ainul Yaqin lokasi di Sidomukti
* Pulo Pancikan (petilasan pijakan) Kanjeng Sunan Giri lokasi Kecamatan Gresik
* Petilasan tempat Kanjeng Sunan Giri memberikan brifing kepada aparat pemerintah lokasi Kelurahan Sidomukti
* Kolam Wudlu keluarga Kanjeng Sunan Giri lokasi Kelurahan Sidomukti
* Petilasan Kolam Wudlu Masjid Giri Kedaton lokasi Kelurahan Sidomukti
* Petilasan Paseban (Majelis Sidang) Pemerintahan Kanjeng Sunan Giri lokasi Kelurahan Sidomukti
* Telogo Pegat lokasi Kelurahan Sidomukti
* Batu Giwang Petilasan tempat Sholat Kanjeng Sunan Giri
* Trap Undak-undakan menuju pondok pesantren lokasi Kelurahan Sidomukti
* Telogo Pati lokasi di desa Klangonan
* Petilasan Pertapaan Kanjeng Sunan Giri (Gunung Batang) lokasi Kelurahan Gulomantung
* Telogo Sumber lokasi di desa Kembangan
* Makam Kanjeng Sunan Giri beserta sanak keluarga dan pengikutnya.

Hal di atas adalah merupakan aset pemerintah daerah Gresik yang dikembangkan sebagai area wisata yang mempunyai nilai-nilai relegius dan dapat dijadikan tempat melepas kepenatan dari kesibukan sehari-hari sembari mempertebal keimanan. Problematikahnya saat ini di sekitarnya nisan-nisan peninggalan keluarga Kanjeng Sunan Giri telah berdiri warung-warung dan kedai menurut tutur mereka ini merupakan ikhtiar setelah dihimpit krisis ekonomi, bagaimana pembenarannya mari kita renungkan bersama. (Se)

kanjeng سنن:
Joko Samodra(gelaran sunan giri) - Jawa Timur

Pada suatu malam ada perahu dagang dari Gresik melintasi selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa.

Nahkoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, mungkin perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan untum menyimpan barang berharga. Nakoda memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nakoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk yang tega membuang bayi itu ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak berperi kemanusiaan.

Nakoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali. Tetapi tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan pesatnya.

Di hadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya pemilik kapal Nakoda berkata sambil membuka peti itu. “Peti inilah yang menyebabkan kami kembali dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,“ kata sang nakoda.

“Bayi......? Bayi siapa ini?” gumam Nyai Ageng Pinatih sebari mengangkat bayi itu dari dalam peti.

“Kami menemukannya di tengah samodra Selat Bali," jawab nakoda kapal.

Bayi itu kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama ia menginginkan seorang anak. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samodra.

Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.

Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksnakan shalat tahajjud, mendo'akan murid-muridnya dan mendo'akan umat agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.

Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada sarung murid itu.

Esok harinya, sesudah shalat subuh. Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.

“Siapa yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan?” tanya Sunan Ampel.

“Saya Kanjeng Sunan......” acung Joko Samodra.

Melihat yang mengacungkan tangan Joko Samodara, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu NyaiAgeng Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra. Kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samodra.

Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra di temukan di tengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng Pinatih.

Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Apel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti denagan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar yang sangat dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu

halawah:
Assalamualaikum wr.wb.
Berkongsi Pengembangan Ilmu Pengetahuan;

"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal. Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan. Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha .


Maulana Malik Ibrahim (Wafat 1419)

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.


Sunan Ampel

Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina." Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Bonang

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban. Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).


Sunan Kalijaga

Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak

Sunan Gunung Jati

Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Sunan Kudus

Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

Sunan Muria

Ia putra Dewi Saroh --adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti .


Wallahu 'Alam Bissawob.
Wassalam.

Sunnah dan Bid'ah

Pandangan Menurut Dr. Yusuf Qardhawi


PENDAHULUAN


Segala puji bagi Allah, kami melantunkan puja-puji, meminta pertolongan dan memohon ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah SWT dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Siapa yang diberikan petunjuk oleh Allah SWT maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah SWT maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Shalawat dan salam atasnya, keluarganya, sahabatnya, dan mereka yang melanjutkan dakwahnya, memegang sunnahnya, dan memperjuangkan agamanya, hingga hari kiamat.

Salam hormat yang paling baik, yang aku ucapkan kepada kalian adalah salam Islam, yaitu as-salamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Pembahasan kita pada kesempatan ini adalah seputar permasalahan sunnah dan bid'ah. Hal ini berkaitan dengan sebuah artikel yang diterbitkan oleh sebuah majalah yang diterbitkan di negara kita ini.[1] Artikel itu menyandang judul yang amat nyeleneh, yaitu "Istinkaarul-Bid'ah wa Kuraahatul-Jadiid, Mauqifun Islami am jahili?" Artinya, "Mengingkari Bid'ah dan Membenci Hal yang Baru, Apakah Sikap Islami ataukah Sikap Jahiliah?' Di situ, si penulis artikel ingin menyampaikan pesan bahwa mengingkari bid'ah adalah suatu sikap jahiliah. Menurutnya, kita tidak boleh mengingkari bid'ah dan harus membiarkan manusia menciptakan apa pun yang dikehendaki oleh inspirasi mereka atau oleh setan mereka, baik setan yang berbentuk manusia maupun jin.

Oleh karena itu, kami ingin mengembalikan masalah ini kepada pokok yang sebenarnya dan kita perlu meredefinisikan (mendefiniskan ulang) pemahaman-pemahaman kita tentang masalah ini karena masalah ini sangat penting. Membiarkan suatu pemahaman tanpa pendefinisian yang jelas akan membuat suatu masalah menjadi seperti karet yang dapat ditarik ulur dan kembali pada keadaan semula, serta membuat setiap orang dapat menafsirkannya sekehendak hatinya. Ini tentunya amat berbahaya.

Karena itulah, kita harus mengetahui makna sunnah yang sebenarnya, juga makna bid'ah, dan apa sikap Islam terhadap bid'ah itu? Mengapa Islam mengingkari bid'ah? Dan, apakah mengingkari bid'ah berarti bid'ah hal yang baru, apa pun bentuk hal yang baru itu? Dengan penjelasan seperti itu, diharapkan kita dapat mengetahui sikap yang benar tentang masalah ini dan hakikat kebenaran dapat diketahui dengan baik serta ketidakjelasan dapat disibakkan. Sehingga, orang yang kemudian binasa adalah karena kesengajaannya semata setelah melihat fakta yang sebenarnya, dan orang yang hidup bahagia adalah orang yang memilih jalan kebenaran setelah melihat kebenaran itu.

MAKNA SUNNAH SECARA ETIMOLOGIS DAN TERMINOLOGIS[2]


Sunnah secara etimologis bermakna 'perilaku atau cara berperilaku yang dilakukan, baik cara yang terpuji maupun yang tercela. Ada sunnah yang baik dan ada sunnah yang buruk, seperti yang diungkapkan oleh hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya: "Barangsiapa membiasakan (memulai atau menghidupkan) suatu perbuatan baik dalam Islam, dia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari perbuatan orang yang mengikuti kebiasaan baik itu setelahnya dengan pahala yang sama sekali tidak lebih kecil dari pahala orang-orang yang mengikuti melakukan perbuatan baik itu. Sementara, barangsiapa yang membiasakan suatu perbuatan buruk dalam Islam, ia akan mendapatkan dosa atas perbuatannya itu dan dosa dari perbuatan orang yang melakukan keburukan yang sama setelah nya dengan dosa yang sama sekali tidak lebih kecil dari dosa-dosa yang ditimpakan bagi orang-orang yang mengikuti perbuatannya itu."[3]

Kata "sunnah" yang dipergunakan oleh hadits tadi adalah kata sunnah dengan pengertian etimologis. Maksudnya, siapa yang membuat perilaku tertentu dalam kebaikan atau kejahatan. Atau, siapa yang membuat kebiasaan yang baik dan yang membuat kebiasaan yang buruk. Orang yang membuat kebiasaan yang baik akan mendapatkan pahala dari perbuatannya itu dan dari perbuatan orang yang mengikuti perbuatannya, dan orang yang membuat kebiasaan yang buruk maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya itu dan dari perbuatan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Adapun dalam pengertian syariat, kata sunnah mempunyai pengertian tersendiri atau malah lebih dari satu pengertian.

Banyak kata yang mempunyai makna etimologis yang kemudian diberikan makna-makna baru oleh syariat. Seperti kata thaharah; secara etimologis, ia bermakna 'kebersihan', sedangkan dalam pengertian terminologis yang diberikan oleh syariat, ia bermakna 'menghilangkan hadats atau menghilangkan najis, dan sejenisnya'. Demikian juga halnya dengan kata shalat; secara etimologis ia bermakna 'doa', sedangkan dalam pengertian terminologis yang diberikan oleh syariat ia bermakna 'ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam'. Demikian juga halnya dengan kata sunnah, ia mempunyai pengertian etimologis dan pengertian terminologis syariat.

Pada hakikatnya, dalam terminologi syariat, sunnah mempunyai lebih dari satu makna. Kata sunnah dalam pengertian terminologis fuqaha adalah 'salah satu hukum syariat' atau antonim dari fardhu dan wajib. Ia bermakna sesuatu yang dianjurkan dan didorong untuk dikerjakan. Ia adalah sesuatu yang diperintahkan oleh syariat agar dikerjakan, namun dengan perintah yang tidak kuat dan tidak pasti. Sehingga, orang yang mengerjakannya akan mendapatkan pahala, dan orang yang tidak mengerjakannya tidak mendapatkan dosa kecuali jika orang itu menolaknya dan sebagainya. Dalam pengertian ini, dapat dikatakan bahwa shalat dua rakaat sebelum shalat shubuh adalah sunnah, sementara shalat shubuh itu sendiri adalah fardhu.

Menurut para ahli ushul fiqih, sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi saw., berupa ucapan, perbuatan, atau persetujuan. Ia dalam pandangan ulama ushul ini, adalah salah satu sumber dari berbagai sumber syariat. Oleh karena itu, ia bergandengan dengan Al-Qur'an. Misalnya, ada redaksi ulama yang mengatakan tentang hukum sesuatu: masalah ini telah ditetapkan hukumnya oleh Al-Qur'an dan sunnah.

Sementara, para ahli hadits menambah definisi lain tentang sunnah. Mereka mengatakan bahwa sunnah adalah apa yang dinisbatkan kepada Nabi saw, berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, atau deskripsi--baik fisik maupun akhlak--atau juga sirah (biografi Rasul saw.).

Ada juga makna sunnah yang lain yang menjadi perhatian para ulama syariat, yaitu sunnah dengan pengertian antonim dari bid'ah. Atau, apa yang disunnahkan dan disyariatkan oleh Rasulullah saw. bagi umatnya versus apa yang dibuat-buat oleh para pembuat bid'ah setelah masa Rasulullah saw.. Pengertian sunnah seperti inilah yang disinyalir oleh hadits riwayat Irbadh bin Sariah, salah satu hadits dari seri empat puluh hadits Nawawi yang terkenal itu (Hadits Arba'in, ed.), "... orang yang hidup setelahku nanti akan melihat banyak perbedaan pendapat (di kalangan umat Islam). Dalam keadaan seperti itu, hendaklah kalian berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan gigi gerahammu dan janganlah kalian mengikuti hal-hal bid'ah, karena setiap perbuatan bid'ah adalah sesat."[4]

Oleh karena itu, di kalangan sahabat sering ditemukan adanya pengoposisian antara sunnah dan bid'ah. Mereka berkata bahwa setiap kali suatu kaum membuat bid'ah maka pada saat itu pula mereka menelantarkan sunnah dalam kuantitas yang sama. Ibnu Mas'ud berkata, "Mencukupkan diri dengan berpegang pada sunnah, lebih baik daripada berijtihad dalam bid'ah."

Ini adalah pengertian terakhir kata sunnah, dan ini pula pengertian sunnah yang menjadi topik pembicaraan kami dalam kesempatan ini. Sedangkan, pengertian-pengertian sunnah yang lain, tidak menjadi topik pembicaraan kami ini. Kami telah membicarakan sebagian dari sunnah dengan pengertian-pengertian lainnya itu, misalnya kami telah membicarakan sunnah sebagai salah satu sumber syariat, atau tentang sunnah sebagai ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat, dan sirah Rasulullah saw.. Namun, dalam kesempatan ini, kami hanya ingin mengkaji tentang sunnah dengan pengertian sebagai antonim bid'ah. Atau, apa yang disunnahkan oleh Nabi saw. bagi umatnya.

Petunjuk Nabi saw. adalah sebaik petunjuk, seperti dikatakan oleh Umar ibnul Khaththab r.a., "Keduanya (Al-Qur'an dan sunnah) adalah kalam dan petunjuk, sebaik-baik kalam adalah kalam Allah SWT dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw.." Umar mengutip redaksi ini dari sabda Rasulullah saw. yang diucapkan oleh beliau dalam khotbahnya, "Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perbuatan bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat."[5]

Nabi saw. telah memperingatkan dengan keras perbuatan bid'ah serta memerintahkan umat Islam Untuk mengikuti Sunnah beliau dan menjaganya. Beliau bersabda, "Aku tinggalkan kalian dalam keutamaan dan kemuliaan (ajaran agama) yang terang-benderang, malamnya seterang siangnya, dan tiada orang yang menyimpang darinya kecuali ia akan binasa."[6]

MAKNA BID'AH MENURUT IMAM ASY-SYATHIBI[7]

Kemudian, apakah makna bid'ah? Dan, apa pengertian bid'ah yang dinilai oleh Nabi saw. sebagai kesesatan dalam agama? Bid'ah, seperti yang didefinisikan oleh Imam asy Syathibi', adalah "cara beragama yang dibuat-buat, yang meniru syariat, yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu sebagai cara berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT".[8] Ini merupakan definisi bid'ah yang paling tepat, mendetail, dan mencakup serta meliputi seluruh aspek bid'ah.


MEDAN OPERASIONAL BID'AH ADALAH AGAMA


Dari definisi tadi dapat dipetakan bahwa medan operasional bid'ah adalah agama. Ia adalah "tindakan mengada-ada dalam beragama". Dalil pernyataan ini adalah sabda Rasulullah saw., "Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."[9]

Dalam riwayat yang lain, "Siapa yang menciptakan hal baru dalam urusan (ajaran agama) kita, yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."[10] Artinya, dikembalikan kepada pelakunya, sebagaimana halnya uang palsu yang tidak diterima untuk dijadikan sebagai alat jual-beli, dan ia dikembalikan kepada pemiliknya. Hadits ini juga dinilai oleh para ulama sebagai salah satu pokok agama Islam. Ia adalah bagian dari seri empat puluh hadits Nawawi yang terkenal itu (Hadits Arba'in, ed.).

Para ulama berkata bahwa ada dua hadits yang saling melengkapi satu sama lain; pertama hadits yang amat penting karena ia adalah timbangan bagi perkara yang batin, yaitu hadits, "Sesungguhnya keabsahan segala amal ibadah ditentukan oleh niat."[11]

Kedua, hadits yang juga amat penting karena ia adalah timbangan bagi perkara yang zahir, yaitu makna yang dikandung oleh hadits ini, "Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan merupakan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."

Agar amal ibadah seseorang diterima oleh Allah SWT, harus dipenuhi dua hal ini:

1. Meniatkan amal perbuatannya semata demi Allah SWT, dan
2. Amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.

Oleh karena itu, saat Imam al-Fudhail bin Iyadh, seorang faqih yang zaahid 'orang yang zuhud' (para zaahid generasi pertama adalah para fuqaha), ditanya tentang firman Allah SWT, "... supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.... "(al-Mulk:2); Amal ibadah apakah yang paling baik? Ia menjawab, "Yaitu amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar." Ia kembali ditanya, "Wahai Abu Ali (al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar itu?" Ia menjawab, "Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar maka amal itu tidak diterima oleh Allah SWT. Kemudian, meskipun amal ibadah itu benar, namun dikerjakan dengan tidak ikhlas, juga tidak diterima oleh Allah SWT. Amal ibadah baru diterima apabila dikerjakan dengan ikhlas dan dengan benar pula. Yang dimaksud dengan 'ikhlas' adalah dikerjakan semata untuk Allah SWT, dan yang dimaksud dengan 'benar' adalah dikerjakan sesuai dengan tuntunan Sunnah."

Keharusan amal ibadah hanya ditujukan untuk Allah SWT, yaitu sebagaimana dideskripsikan oleh hadits, "Sesungguhnya keabsahan segala amal ibadah ditentukan oleb niat." Dan, keharusan amal ibadah sesuai dengan tuntunan Sunnah adalah seperti dideskripsikan oleh hadits, "Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kami (Islam) yang bukan merupakan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."

Dengan demikian, perbuatan bid'ah hanya terjadi dalam bidang agama. Oleh karena itu, salah besar orang yang menyangka bahwa perbuatan bid'ah juga dapat terjadi dalam perkara-perkara adat kebiasaan sehari-hari. Karena, hal-hal yang biasa kita jalani dalam keseharian kita, tidak termasuk dalam medan operasional bid'ah. Sehingga, tidak mungkin dikatakan "masalah ini (salah satu masalah kehidupan sehari-hari) adalah bid'ah karena kaum salaf dari kalangan sahabat dan tabi'in tidak melakukannya". Bisa jadi hal itu adalah sesuatu yang baru, namun tidak dapat dinilai sebagai bid'ah dalam agama. Karena jika tidak demikian, niscaya kita akan memasukkan banyak sekali hal-hal baru yang kita pergunakan sekarang ini sebagai bid'ah: seperti mikropon, karpet, meja, dan bangku yang kalian duduki, semua itu tidak dilakukan oleh oleh generasi Islam yang pertama, juga tidak dilakukan oleh sahabat, apakah hal itu dapat dinilai sebagai bid'ah?

Oleh karena itu, ada orang yang bersikap salah dalam masalah ini sehingga jika melihat ada mimbar yang anak tangganya lebih dari tiga tingkat, niscaya dia akan berkata, "ini adalah bid'ah". Tidak, bid'ah tidak termasuk dalam masalah seperti itu. Rasulullah saw. pertama kali berkhotbah di atas pokok pohon kurma, kemudian ketika manusia bertambah banyak, ada yang mengusulkan, "Tidakkah sebaiknya kami membuat tempat berdiri yang tinggi bagi baginda sehingga orang-orang yang hadir dapat melihat baginda?" Setelah itu, didatangkan seorang tukang kayu, ada yang mengatakan ia adalah tukang yang berasal dari Romawi. Selanjutnya, si tukang kayu membuat mimbar dengan tiga tingkat. Seandainya dibutuhkan mimbar yang lebih dari tiga tingkat, niscaya ia akan membuatnya. Masalah ini tidak termasuk dalam lingkup medan operasional bid'ah.

Oleh karena itu, sangat penting sekali kita mengetahui apa yang dimaksud dengan sunnah? Dan, apa yang dimaksud dengan bid'ah? Juga ada kesalahan sikap dalam memandang perbuatan-perbuatan Rasulullah saw.. Sebagian orang ada yang menyangka bahwa seluruh apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah sunnah. Padahal, para ulama berkata bahwa perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang termasuk sebagai sunnah hanyalah perbuatan yang ditujukan oleh beliau sebagai perbuatan ibadah.[12]

Di antara contohnya, Nabi saw.--pada beberapa kesempatan--melakukan shalat sunnah dua rakaat sebelum shubuh. Setelah itu, beliau berbaring dengan memiringkan tubuhnya ke samping kanan.[13] Dari sini, ada sebagian ulama--diantaranya Ibnu Hazm--yang menyimpulkan bahwa setelah melakukan shalat sunnah dua rakaat sebelum shubuh kita harus berbaring miring di sisi kanan tubuh kita. Padahal, Aisyah r.a. berkata, "Nabi saw. berbaring seperti itu bukan untuk mencontohkan perbuatan sunnah, namun semata karena beliau lelah setelah sepanjang malam beribadah sehingga beliau perlu beristirahat sejenak."[14]

Dengan demikian, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. perlu diperhatikan, apakah yang beliau lakukan itu ditujukan sebagai perbuatan ibadah atau bukan. Di sini banyak terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman, misalnya seperti yang terjadi dalam masalah tata cara makan. Sebagian orang berpendapat bahwa makan dengan sendok dan garpu, atau di meja makan, adalah perbuatan bid'ah. Ini adalah sikap yang berlebihan dan ekstrem. Karena, masalah ini adalah bagian dari kebiasaan sehari-hari yang berbeda-beda bentuknya antara satu daerah dan daerah lain, dan antara satu zaman dan zaman lainnya. Nabi saw makan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh lingkungan beliau, terutama yang sesuai dengan sifat Rasulullah saw., yakni sifat memberikan kemudahan, tawadhu', dan zuhud. Namun demikian, makan dengan menggunakan meja makan atau menggunakan sendok dan garpu, bukanlah sesuatu yang bid'ah. Lain halnya dengan sebagian sisi dari tata cara makan itu.

Saya pernah didebat oleh seorang penulis besar-yaitu seorang tokoh yang sering menulis artikel di majalah-majalah dan kadang-kadang menulis tentang topik keislaman--tentang tuntunan makan dengan tangan kanan. Ia berkata bahwa hal itu bukan sunnah karena ia hanyalah suatu bentuk adat kebiasaan belaka. Saya menjawab bahwa bukan begitu permasalahannya. Dalam masalah seperti ini, kita harus memperhatikannya dengan cermat. Benar, masalah makan dengan sendok dan garpu, atau makan di lantai atau di meja makan, adalah masalah yang bersifat praktikal, dan setiap orang melakukan hal itu sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di tengah kaumnya; selama tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa suatu cara tertentu dilakukan sebagai bentuk beribadah, atau ada tuntunan sunnah di situ. Sedangkan, masalah makan dengan tangan kanan, tampak dengan jelas adanya petunjuk Nabi saw. untuk melakukan hal itu. Karena, secara eksplisit Rasulullah saw. memerintahkan hal itu, yaitu saat beliau bersabda kepada seorang anak, "Bacalah nama Allah, Nak, kemudian makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan (hidangan) yang dekat dengan kamu."[15]

Lebih jauh lagi, Rasulullah saw. melarang melakukan tindakan sebaliknya, seperti alam sabda beliau, "Hendaklah kalian tidak makan dan minum dengan tangan kiri kalian karena setan makan dan minum dengan tangan kirinya."[16]

Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hal itu menunjukkan keharaman (makan dan minum dengan tangan kiri) karena beliau menyerupakan orang yang melakukan tindakan seperti itu dengan setan. Dan, beliau tidak pernah menyerupakan sesuatu perbuatan sebagai perbuatan setan dalam masalah yang makruh.

Saat Rasulullah saw. melihat seseorang makan dengan tangan kirinya, beliau bersabda kepadanya, "Makanlah dengan tangan kananmu." Orang itu menjawab, "Aku tidak bisa." Rasulullah saw. kembali bersabda, "Engkau pasti bisa."[17] Kemudian Rasulullah saw. menyumpahi orang itu sehingga ia tidak lagi dapat mengangkat tangan kanannya setelah itu. Ini menunjukkan bahwa masalah ini (makan dengan tangan kanan) amat ditekankan.

Oleh karena itu, dalam masalah seperti ini kita harus memperhatikannya dengan cermat agar mengetahui batasan dan aturan-aturannya yang terdapat dalam tuntunan Rasulullah saw.. Untuk kemudian kita usahakan untuk mengetahui mana tindakan yang ditujukan sebagai perbuatan sunnah dan sebagai bentuk beribadah kepada Allah SWT, dan mana tindakan yang bersifat sekadar kebiasaan dan alami.

Kadang-kadang Nabi saw. melakukan sesuatu seperti cara kaum beliau melakukan hal itu, beliau makan dengan cara seperti mereka makan, beliau minum dengan cara seperti mereka minum, dan beliau berpakaian dengan cara seperti mereka berpakaian. Dan, terkadang beliau melakukan sesuatu sesuai dengan kecenderungan selera beliau. Misalnya, beliau senang makan labu. Apakah kita semua harus senang makan labu? Masalah-masalah seperti ini ditentukan oleh selera masing-masing orang; ada orang yang senang sop kaki, ada yang senang sayur bayam, dan seterusnya.

Rasulullah saw. juga menyenangi daging kaki depan; apakah kita semua juga harus menyenangi daging kaki depan? Ada orang yang senang dengan daging punggung, ada yang senang dengan daging paha, dan seterusnya. Jika selera Anda kebetulan sama dengan selera Nabi saw, hal itu adalah baik dan berkah. Dan, jika ada seseorang yang berusaha sedapat mungkin mencontoh seluruh perilaku Rasulullah saw hingga pada masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan tuntunan agama karena semata dorongan kecintaannya yang demikian besar terhadap Rasulullah saw., dan kesungguhannya untuk mencontoh segala hal yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., ini juga suatu tindakan yang terpuji, meskipun hal itu tidak dianjurkan oleh agama.

Jika ada seseorang yang berkata, "Aku ingin mencontoh segala perilaku Rasulullah saw., meskipun apa yang dilakukan oleh beliau tidak termasuk dalam tuntunan ibadah. Aku akan makan dengan bersila di lantai dan dengan menggunakan tanganku (tanpa menggunakan sendok dan garpu), seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw.." Kepada orang seperti itu kami katakan, semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan kepadamu. Kami tidak akan mengingkari tindakannya itu, dan barangkali orang itu akan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya.

Adalah Ibnu Umar r.a. karena kesungguhannya yang besar untuk mengikuti segala perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan kesempurnaan cintanya kepada beliau, ia mengikuti segala apa pun yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., meskipun hal itu tidak termasuk perbuatan ibadah atau bukan perbuatan yang diperintahkan untuk dikerjakan.[18] Demikian juga sebagian sahabat yang lain.

Misalnya, ada seorang sahabat yang melihatnya sedang shalat dengan kancing yang terbuka; saat ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab bahwa ia melihat Rasulullah saw. melakukan perbuatan seperti itu.[19] Padahal, barangkali Nabi saw. melakukan hal itu semata karena pada saat itu beliau sedang kegerahan atau dalam keadaan musim panas. Lantas, apakah Anda akan melakukan tindakan yang sama pula pada saat musim dingin! Itu hanyalah pendapat Ibnu Umar saja. Suatu saat Ibnu Umar sedang berada dalam perjalanan bersama rombongan, tiba-tiba ia meminggirkan kendaraannya dari jalan sehingga rombongan yang menyertainya merasa heran. Lantas, pembantunya menjelaskan bahwa ia melakukan hal itu karena dahulu ia pernah berjalan bersama Nabi saw. di tempat itu, kemudian saat tiba di tempat itu Rasulullah saw. bergerak minggir ke pinggir jalan.[20]

Dalam salah satu perjalanan ibadah haji, ia juga pernah mengistirahatkan kendaraannya di suatu tempat dan rombongan yang menyertainya juga ikut beristirahat bersamanya. Para anggota rombongan itu bertanya-tanya, apa yang ia ingin kerjakan di tempat itu? Ternyata, ia pergi ke suatu tempat dan melaksanakan hajatnya (membuang air kecil atau besar) di tempat itu. Dan, saat ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab bahwa hal itu dilakukannya karena pada saat Nabi saw. melaksanakan ibadah haji dan sampai ke tempat ini, beliau melaksanakan hajat beliau di tempat itu.[21]

Apakah tindakan seperti ini diperintahkan untuk dikerjakan oleh insan muslim? Tentu saja tidak, namun, perbuatan tadi adalah suatu bentuk manifestasi kesempurnaan cinta kepada Nabi saw.. Ia juga senang meletakkan untanya di tempat Rasulullah saw. meletakkan unta beliau.

Perbuatan semacam ini tidak kami cela kecuali jika orang itu mengharuskan manusia untuk melakukan tindakan seperti itu juga. Karena, perbuatan seperti itu tidak diperintahkan oleh agama. Oleh karena itu, ia harus mengetahui bahwa apa yang ia lakukan itu tidak harus dilakukan oleh manusia dan tidak wajib bagi mereka, juga bukan perbuatan yang sunnah.

Orang yang melakukan hal itu telah melakukan tindakan yang baik, namun ia menjadi salah jika ia menginginkan--atau malah memaksakan--orang lain untuk melakukan tindakan yang sama seperti yang ia lakukan, atau mengingkari dan mencela orang yang tidak melakukannya. Atau juga jika ia meyakini bahwa hal itu adalah bagian dari pokok agama, atau bagian darinya, atau menganggap orang yang meninggalkan perbuatan itu berarti telah meninggalkan sunnah. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penting bagi kita memisahkan antara sunnah yang sebenarnya dan bid'ah.

KREASI DAN PENEMUAN BARU SEHARUSNYA HANYA DALAM URUSAN DUNIAWI

Bid'ah, seperti kami katakan sebelumnya, adalah "tindakan mengada-ada dalam beragama". Karena, Islam menghendaki para pemeluknya untuk menjalankan agama sesuai batas ketentuan yang telah diberikan dan tidak mengada-ada. Untuk kemudian, mencurahkan energi kreatif mereka untuk membuat kreasi baru dalam bidang-bidang keduniawian. Inilah yang dilakukan oleh generasi salafus saleh.

Kalangan salaf menjalankan agama pada batas ajaran yang jelas telah ada, dalam riwayat yang pasti dari Rasulullah saw. dan pada sunnah-sunnah. Untuk kemudian, mereka mencurahkan segenap potensi dan energi mereka untuk berkreasi dan bekerja untuk memperbaiki kehidupan duniawi.

Dalam biografi Umar Ibnul-Khaththab r.a., Anda akan menemukan banyak hal yang dikenal dengan awwaliyyaat Umar 'pioniritas Umar'. Yaitu, ia adalah orang yang pertama kali mengadakan sistem administrasi di negara Islam, yang pertama kali membangun kota-kota terpadu, pemimpin yang pertama kali mengadakan investigasi langsung kepada rakyat, dan lain-lain.

Ada kitab yang berjudul al-Awaail 'Hal-Hal yang Pertama' atau apa-apa yang pertama kali dibudayakan oleh kalangan salaf. Para sahabat telah menciptakan banyak kreasi untuk menciptakan kemaslahatan bagi kaum muslimin.

Dan, makna 'mengada-ada' adalah hal itu tidak mempunyai sumber dalam syariat. Asal kata bid'ah adalah diambil dari kata bad'a dan ibtada'a, yang bermakna 'menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya'. Oleh karena itu, Al-Qur'an mendeskripsikan Allah SWT sebagai, "Allah Pencipta langit dan bumi." Artinya, Allah SWT menciptakan langit dan bumi dari nol, tanpa adanya contoh sebelumnya.[22]

Membuat bid'ah adalah menciptakan ajaran agama yang tidak ada aturannya dari Rasulullah saw., juga dari Khulafa ar-Rasyidin, yang diperintahkan kepada kita agar mengikuti sunnah mereka.


SESUATU YANG MEMILIKI LANDASAN DALAM SYARIAT TIDAK DINILAI SEBAGAI BID'AH

Sesuatu yang baru itu, jika ia mempunyai asal dan sumber dalam syariat, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai bid'ah. Banyak hal yang dibuat oleh kaum Muslimin yang mempunyai asal dan landasan dalam syariat. Misalnya, penulisan dan pengkompilasian (penggabungan) Al-Qur'an dalam satu mushaf, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar berdasarkan usul Umar r.a..

Sebelumnya Abu Bakar merasa berat untuk melaksanakan rencana itu. Ia berkata, "Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.?" Namun, Umar terus membujuknya dan memberikan argumentasi betapa pentingnya hal itu hingga akhirnya Abu Bakar menerima usul itu dan melaksanakannya.[23] Karena, hal itu demi kebaikan dan kepentingan kaum muslimin, meskipun hal itu tidak dilakukan oleh Nabi saw.. Agama Islam dapat dipertahankan dengan menjaga dan memelihara Al-Qur an itu, dan Al-Qur an adalah pokok agama, sumber, dan pokok yang abadi. Oleh karena itu, kita harus menjaga Al-Qur'an dari kemungkinan tercecer atau mengalami kesimpangsiuran.

Nabi saw telah mengizinkan pencatatan wahyu saat wahyu diturunkan. Dan, beliau memiliki sekretaris yang bertugas mencatat wahyu-wahyu yang diturunkan (Zaid bin Tsabit). Semua itu dilakukan dalam upaya menjaga dan memelihara Al-Qur'an.


Selama masa hidup Nabi saw., beliau tidak mengkompilasikan Al-Qur'an dalam satu kesatuan. Karena, pada saat itu, ayat-ayat Al-Qur'an terus turun secara beriringan, dan Allah SWT terkadang mengubah sebagian ayat yang telah diturunkan kepada Rasulullah saw. itu. Sehingga, jika ayat-ayat yang diturunkan itu langsung dikompilasikan ke dalam satu kesatuan, niscaya akan ditemukan kesulitan jika terjadi perubahan dari Allah SWT. Terkadang, saat suatu ayat diturunkan, Rasulullah saw. memerintahkan kepada para pencatat wahyu, letakkanlah ayat ini dalam surah itu (surah tertentu), dan masing-masing surah dalam Al-Qur'an belum diketahui sudah lengkap atau belum ayat-ayatnya, hingga seluruh ayat Al-Qur'an selesai diturunkan.

Surah al-Baqarah misalnya, ia turunkan pada permulaan era Madinah. Namun, ayat-ayat dalam surah itu baru terlengkapi setelah lewat delapan tahun. Dan, di dalamnya terdapat ayat-ayat yang oleh ulama dikelompokkan sebagai ayat-ayat yang terakhir diturunkan. Seperti pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ayat Al-Qur'an yang terakhir diturunkan adalah firman Allah SWT: "Dan, peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian, masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)." (al-Baqarah: 281)

Oleh karena itu, selama masa itu, Nabi saw. melarang upaya pengkompilasian Al-Qur an. Namun, saat kelengkapan Al-Qur'an telah diketahui, setelah wafatnya Rasulullah saw., maka para sahabat merasa aman dari kemungkinan adanya penambahan dan pengurangan Al-Qur an. Oleh karena itu, mereka segera mencatat ayat-ayat Al-Qur'an yang berserakan dalam berbagai media dan mengkompilasikannya dalam satu mushaf. Dengan demikian, hal ini mempunyai dasar dan sandaran dalam syariat sehingga perbuatan itu tidak dapat dianggap sebagai bid'ah.

Contoh yang lain adalah tindakan Umar r.a. yang menyatukan orang-orang yang melaksanakan shalat tarawih dalam satu jamaah shalat di bawah satu imam shalat, yaitu Ubay bin Ka'ab. Sebelumnya, mereka melaksanakan shalat tarawih secara terpisah-pisah dengan imam shalat masing-masing. Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qaari bahwa ia berkata, "Aku berjalan bersama Umar Ibnul-Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Pada saat itu, kami menemukan masyarakat melakukan shalat (tarawih) secara terpisah-pisah. Ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat dengan diikuti oleh beberapa orang makmum. Melihat itu Umar berkata, "Aku berpendapat, seandainya semua orang disatukan dalam jamaah shalat (tarawih) di bawah pimpinan satu orang imam niscaya akan lebih baik." Dan, rencananya Umar akan mengangkat Ubay bin Ka'ab sebagai imam shalat mereka. Kemudian, pada malam lainnya, aku kembali berjalan bersama Umar (menuju masjid). Saat itu, kami telah mendapati orang-orang sedang melaksanakan shalat (tarawih) di bawah pimpinan satu imam shalat mereka. Melihat itu Umar berkomentar, "Bid'ah[24] yang paling baik adalah ini. Dan, orang yang saat ini tidur adalah lebih baik dari mereka yang melaksanakan qiyamullail pada saat ini karena mereka (yang masih tidur) akan melaksanakannya pada akhir malam, sedangkan orang lainnya melaksanakannya pada awal malam."[25]

Kata "bid'ah" yang diucapkan oleh Umar tadi, yakni kalimat "bid'ah yang paling baik adalah ini" adalah kata bid'ah dengan pengertian lughawi 'etimologis', bukan dengan pengertian terminologis syariat. Karena, kata bid'ah dalam pengertian etimologis adalah "sesuatu yang baru diciptakan atau baru diperbuat" yang belum pernah ada sebelumnya. Yang dimaksud oleh Umar dengan ucapannya itu adalah, manusia sebelumnya belum pemah melaksanakan shalat tarawih dalam kesatuan jamaah shalat seperti itu. Meskipun pada dasarnya, shalat tarawih secara jamaah itu sendiri pernah terjadi pada masa Nabi saw.. Karena, beliau mendorong kaum muslimin untuk melaksanakan shalat itu. Dan, banyak orang yang mengikuti shalat tarawih beliau selama beberapa malam. Namun, saat beliau mendapati banyak orang yang berkumpul untuk melaksanakan shalat tarawih bersama beliau, beliau tidak menemui mereka lagi untuk shalat bersama. Kemudian, pada pagi harinya, beliau bersabda, "Aku melihat apa yang kalian lakukan itu, dan yang menghalangi diriku untuk keluar dan shalat (tarawih) bersama kalian adalah karena aku takut jika shalat itu sampai diwajibkan atas kalian."[26]

Kekhawatiran ini, yakni kekhawatiran Rasulullah saw. jika Allah SWT mewajibkan shalat tarawih itu, menjadi hilang dengan wafatnya Nabi saw.. Dengan begitu, hilang pula faktor yang menghalangi dilaksanakannya shalat tarawih dalam satu kesatuan jamaah shalat.[27]

Yang terpenting, makna "mukhtara'ah (sesuatu yang baru diciptakan atau baru diperbuat)" itu adalah sesuatu yang tidak diperintahkan oleh syariat.

Dari sini, ulama salaf kemudian mengkompilasikan ilmu-ilmu syariat, kemudian menciptakan ilmu-ilmu baru untuk mendukung syariat itu. Seperti, ilmu ushul fiqih, ilmu musthalah hadits, ilmu-ilmu bahasa Arab, dan sebagainya.

MENIRU JALAN SYARIAT

Kembali kepada definisi bid'ah yang diberikan oleh asy-Syathibi. Kalimat "meniru syariat", artinya hal itu meniru jalan syariat, padahal pada kenyataannya tidak seperti itu. Ada banyak hal yang diciptakan oleh manusia yang tidak mempunyai sandaran dan dasar dalam syariat, hanya saja ia mempunyai sisi kemiripan kepada suatu ajaran syariat itu. Karena, hal itu suatu bentuk beribadah dan pada satu segi ia meniru jalan syariat. Sisi inilah yang dianggap baik oleh para pembuat bid'ah dan para pengikut mereka. Karena, jika hal itu tidak memiliki suatu kemiripan dengan manusia, niscaya orang banyak akan menolaknya. Mereka menganggap hal itu baik karena ada segi kemiripannya dengan jalan syariat.


BID'AH YANG DIMAKSUDKAN ADALAH BERSIKAP BERLEBIH-LEBIHAN DALAM BERIBADAH

Dalam definisi asy-Syathibi juga terdapat redaksi, "yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu (bid'ah) adalah sebagai cara berlebillan dalam beribadah kepada Allah SWT". Maksudnya, orang yang membuat suatu praktek bid'ah, biasanya melakukan hal itu dengan tujuan untuk berlebih-lebihan dalam bertaqarrub kepada Allah SWT. Karena, mereka merasa tidak cukup dengan praktek ibadah yang telah diajarkan oleh syariat sehingga mereka berusaha untuk menambah suatu praktek baru. Dengan tindakan itu, seakan-akan mereka ingin mengoreksi syariat dan menutupi kekurangannya sehingga akhirnya mereka menciptakan suatu praktek ibadah baru, hasil rekayasa pikiran mereka.

Apakah niat yang baik itu dapat menjustifikasikan tindakan mereka? Tentu saja tidak. Niat seperti itu tidak dapat memberikan justifikasi suatu perbuatan bid'ah. Kami telah katakan sebelumnya bahwa dalam masalah beribadah, kita harus melengkapi dua hal: niat (hanya semata untuk Allah SWT) dan mutaba'ah yaitu 'beribadah dengan mengikuti cara yang diajarkan oleh Al-Qur'an dan Rasulullah saw.'. Ukuran dan karakteristik ibadah yang benar amat jelas, yaitu harus mengikuti tuntunan Rasulullah saw., "Siapa yang mengerjakan suatu amal ibadah yang tidak diatur oleh sunnah kami maka amalnya itu tertolak." Ini adalah bid'ah dalam agama. Bid'ah dengan pengertian seperti ini adalah dhalaalah 'sesat', seperti disinyalir oleh hadits riwayat Irbaadh bin Saariah, "Karena setiap bid'ah adalah sesat."

PEMBAGIAN MACAM BID'AH MENURUT ULAMA DAN PENDAPAT YANG PALING TEPAT

Ada ulama yang membagi bid'ah menjadi dua macam, yaitu bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) dan bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang buruk').[28] Ada juga ulama yang membagi bid'ah menjadi lima macam, seperti halnya lima macam hukum syariat, yaitu bid'ah wajibah (bid'ah yang wajib dilakukan), bid'ah mustahabbah (bid'ah yang dianjurkan untuk dilakukan), bid'ah makruhah (bid'ah yang makruh dilakukan), bid'ah muharramah (bid'ah yang haram dilakukan), dan bid'ah mubaahah (bid'ah yang boleh dilakukan).[29]

Ungkapan yang paling tepat dalam masalah ini adalah bahwa pendapat tadi pada akhirnya bertemu pada muara yang sama dan sampai pada kesimpulan yang sama pula. Karena, mereka -- misalnya -- memasukkan masalah pencatatan Al-Qur'an dan pengkompilasiannya dalam satu mushaf, juga masalah pengkodifikasian ilmu nahwu, ilmu ushul fiqih, dan pengkodifikasian ilmu-ilmu keislaman yang lain, dalam kategori bid'ah yang wajib dan sebagai bagian dari fardhu kifayah (kewajiban kolektif).

Ulama yang lain menggugat penamaan perbuatan tadi sebagai bagian dari bid'ah. Menurut mereka, pengklasifikasian bid'ah semacam itu adalah pengklasifikasian bid'ah berdasarkan pengertian lughawi 'etimologis', sedangkan pengertian kata bid'ah yang kami gunakan adalah pengertian secara terminologis syar'i. Sedangkan, hal-hal tadi (seperti pencatatan Al-Qur'an dan pengkompilasiannya) tidak kami masukkan dalam kategori bid'ah. Adalah suatu inisiatif yang tidak tetap memasukkan hal-hal semacam tadi dalam kelompok bid'ah.

Yang terbaik adalah kita berpedoman pada pengertian bid'ah yang dipergunakan oleh hadits syarif. Karena, dalam hadits syarif diungkapkan redaksi yang demikian jelas ini, "Karena setiap bid'ah adalah sesat," dengan pengertian yang general (umum). Jika dalam hadits itu diungkapkan, "Karena setiap bid'ah adalah sesat," maka tidak tepat kiranya jika kita kemudian berkata bahwa di antara bid'ah ada yang baik dan ada yang buruk, atau ada bid'ah wajib dan ada bid'ah yang dianjurkan, dan sebagainya. Kita tidak patut melakukan pembagian bid'ah seperti ini. Yang tepat adalah jika kita mengatakan seperti yang diungkapkan oleh hadits, "Karena setiap bid'ah adalah sesat." Dan, kata bid'ah yang kami pergunakan itu adalah kata bid'ah dengan definisi yang diucapkan oleh Imam asy-Syathibi, "Bid'ah adalah suatu cara beragama yang dibuat-buat," yang tidak mempunyai dasar dan landasan, baik dari Al-Qur'an, sunnah Nabi saw., ijma', qiyas, maupun maslahat mursalah, dan tidak juga dari salah satu dalil yang dipakai oleh para fuqaha.

MENGAPA ISLAM BERSIKAP KERAS DALAM MASALAH BID'AH?

Mengapa Islam bersikap keras dalam masalah bid'ah, menilainya sebagai kesesatan, dan pelakunya diancam akan dimasukkan ke neraka, serta Nabi saw. memberikan peringatan yang amat keras dalam masalah ini? Berikut ini adalah alasan-alasannya.

1. PEMBUAT DAN PELAKU BID'AH MENGANGKAT DIRINYA SEBAGAI PEMBUAT SYARIAT BARU DAN SEKUTU BAGI ALLAH SWT

Islam memberikan peringatan keras terhadap masalah bid'ah ini karena (seperti telah kami singgung sebelumnya) dalam kasus seperti ini, si pembuat bid'ah bertindak seakan-akan ingin mengoreksi Rabbnya dan dia memberikan kesan kepada kita atau kepada dirinya bahwa dia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Allah SWT. Seakan-akan dia berkata, "Tuhanku, apa yang Engkau telah syariatkan kepada kami itu tidak cukup. Oleh karena itu, kami menambah praktek ibadah baru atas apa yang telah Engkau syariatkan itu." Dengan demikian, ia telah menetapkan dirinya sebagai pembuat syariat dan memberikan kepada dirinya hak untuk menciptakan syariat baru. Padahal, hak membuat syariat adalah mi1ik Allah SWT semata. Oleh karena itu, Allah berfirman, "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?.... "(asy-Syuura: 21)

Tindakan membuat syariat baru yang tidak dizinkan oleh Allah SWT adalah tindakan yang amat berbahaya. Karena, dalam kasus seperti itu, si pelakunya berarti telah mengangkat dirinya sebagai sekutu bagi Allah SWT dan memberikan hak kepada dirinya untuk menciptakan syariat baru dan berkreasi dalam agama, serta membuat tambahan dalam agama Allah SWT. Hal ini dapat menimbulkan bahaya yang amat besar dan dapat menjerumuskan seseorang menjadi musyrik kepada Allah SWT. Tindakan seperti inilah yang telah merusak agama-agama langit sebelum Islam.


Apa yang telah terjadi pada agama-agama langit sebelum Islam itu? Yaitu, terjadi bid'ah secara besar-besaran dan para pemeluk agama-agama itu memberikan kepada diri mereka hak untuk menambahkan hal-hal baru dalam agama mereka, yang secara khusus dipegang oleh para pendeta dan orang-orang alim mereka sehingga agama yang mereka anut bentuknya berubah sama sekali dari agama aslinya. Inilah yang dikecam oleh Islam dan diabadikan oleh Al-Qur'an dalam firman Allah SWT, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sehagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Almasih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (at-Taubah: 31)

Al-Qur'an memandang mereka sebagai orang-orang musyrik. Saat Adi bin Hatim ath-Thaai (yang sebelumnya memeluk Kristen pada masa jahiliah) bertemu Rasulullah saw., ia membaca ayat, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah." Dan, iapun (Adi bin Hatim ath-Thaai) berkata, "(Pada kenyataannya) mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib itu." Rasulullah saw. menjawab, "Benar begitu, (namun) mereka (para pendeta dan rahib itu) telah mengharamkan sesuatu yang halal bagi umatnya dan menghalalkan apa yang haram bagi mereka, dan mereka (umatnya) pun mengikuti ketetapan para pendeta dan rahib itu dengan patuh. Itulah bentuk ibadah penyembahan mereka kepada para pendeta dan rahib itu."[30]

Adi bin Hatim memahami ibadah dan penyembahan hanya berbentuk ritus-ritus saja: shalat, ruku, sujud, dan semacamnya. Kemudian, Nabi saw. memberikan penjelasan kepadanya bahwa bentuk penyembahan mereka itu tidak semata-mata seperti itu; ibadah dan penyembahan mempunyai makna yang lebih luas. Taat dan tunduk secara mutlak terhadap apa yang mereka (para pendeta dan para rahib) lakukan, apa yang mereka halalkan, apa yang mereka haramkan, apa yang mereka buat-buat, dalam perkara-perkara duniawi adalah bentuk penyembahan kepada mereka. Karena, status rubbubiyah 'ketuhanan'-lah yang memiliki hak untuk menetapkan syariat, menghalalkan, dan mengharamkan. Dan, status itu pula yang memberikan-Nya hak untuk menetapkan bentuk praktek ibadah manusia kepada-Nya, sesuai yang Dia kehendaki. Tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk beribadah kepada Allah SWT dengan cara yang dia kehendaki sendiri.

Dengan demikian, orang yang membuat bid'ah meletakkan dirinya seakan-akan pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi sekutu bagi Allah SWT dan dia mengoreksi apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

2. PEMBUAT BID'AH MEMANDANG AGAMA TIDAK LENGKAP DAN BERTUJUAN MELENGKAPINYA

Dari segi lain, orang yang mengerjakan bid'ah seakan-akan menganggap agama tidak lengkap, kemudian ia ingin menyempurnakan kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Padahal, Allah SWT telah menyempurnakan agama secara lengkap, sebagai bentuk kesempurnaan nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Dia berfirman, ",...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu...," (al-Maa'idah: 3)

Oleh karena itu, Ibnu Majisyun meriwayatkan dari Imam Malik (Imam Darul Hijrah) bahwa dia berkata, "Siapa yang telah membuat praktek bid'ah dalam agama Islam dan ia melihatnya sebagai suatu tindakan yang baik, berarti ia telah menuduh Nabi Muhammad saw. telah mengkhianati risalah. Karena, Allah SWT berfirman, 'Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.' Jika saat itu agama Islam belum lengkap niscaya saat ini tidak ada agama Islam itu."[31]

Membuat bid'ah dalam agama Islam secara tidak langsung berarti telah menuduh Nabi saw. berkhianat dan tidak menyampaikan risalah agama secara lengkap. Allah SWT berfirman, "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan, jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya (al-Maa'idah: 67)

Agama Islam telah sempurna dan tidak membutuhkan tambahan lagi. Karena, sesuatu yang sudah sempurna tidak menerima adanya penambahan sama sekali. Hanya sesuatu yang tidak sempurnalah yang dapat menerima penambahan dan penyempurnaan baginya.

Oleh karena itu, para sahabat dan para imam setelah mereka, amat memerangi praktek bid'ah karena hal itu berarti menuduh agama Islam tidak lengkap, dan menuduh Rasulullah saw. telah berbuat khianat.


3. PRAKTEK BID'AH MEMPERSULIT AGAMA DAN MENGHILANGKAN SIFAT KEMUDAHANNYA

Agama yang disyariatkan oleh Allah SWT pada dasarnya bersifat mudah dan Allah SWT juga mengutus nabi-Nya dengan hanifiah samhah 'agama yang orisinal dan mudah dijalankan', hanif 'orisinal' dalam akidah, dan samhah 'mudah dijalankan dalam pemberian beban hukum dan praktek ibadah'. Firman Allah: "...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...." (al-Baqarah:185). Juga dalam ayat lainnya, ",...dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan,..." (al-Hajj: 78). Juga dalam hadits Nabi SAW, "Kalian diutus sebagai orang-orang yang memberikan kemudahan, bukan sebagai orang-orang yang membuat kesulitan. "[32]

Agama Islam datang dengan sifat mudah dilaksanakan, kemudian orang-orang yang membuat praktek bid'ah mengubah sifat mudah Islam itu menjadi susah dan berat. Mereka membebani manusia dan menyulitkan mereka dengan berbagai macam praktek baru, serta menambahkan hal-hal baru dalam praktek keagamaan yang membuat manusia menjadi terbelenggu oleh beban berat. Padahal, Nabi saw. datang untuk membebaskan manusia dari belenggu dan beban yang berat itu yang dialami oleh umat sebelumnya. Seperti diterangkan tentang sifat Nabi saw. dalam kitab-kitab suci sebelumnya, Taurat dan Injil, "...dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka". (al-A'raaf:157)

Dan, dalam doa-doa Al-Qur'an yang terdapat dalam penghujung surah al-Baqarah tertulis, "...Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami,..." (al-Baqarah: 286)

Para pembuat bid'ah itu berkeinginan mengembalikan beban-beban agama-agama langit sebelumnya ke dalam Islam dan menambahkan taklif 'beban hukum' yang memberatkan manusia serta menyulitkan mereka. Padahal, seungguhnya beban-beban agama Islam ini bersifat sederhana dan mudah dijalankan. Misalnya, Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya, Allah dan malaikat-malaikat Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya," (al-Ahzab: 56)

Dan, redaksi shalawat yang paling afdhal adalah, "Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah sampaikan shalawat-Mu kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah berikan keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia."[33]

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca shalawat dengan redaksi tadi? Mungkin hanya seperempat atau setengah menit! Namun, kemudian banyak orang yang mengarang kitab tentang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi saw. dan menciptakan beragam redaksi shalawat baru yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT. Saya sering mendapati orang awam yang membaca redaksi shalawat yang beragam itu dan ternyata ia tidak memahami sama sekali apa yang ia baca itu. Demikian juga halnya dengan redaksi-redaksi doa, banyak orang yang mengarang wirid dan hizb yang beragam. Saat masih kecil, setiap kali saya berangkat ke masjid sebelum subuh, saya mendapati orang-orang awam menghafal dan membaca doa yang dikenal dengan "wirid al-Bakri", yaitu sebuah redaksi doa